Jumat, 17 April 2009

Kata " Allah " Hak Cipta Siapa ????

Kata “Allah” Copyright Siapa?


Belakangan ini muncul kontroversi seputar copyright kata “Allah”. Dikabarkan bahwa Pemerintah Malaysia melarang kaum Kristen menggunakannya. Alasannya, kata Allah merupakan kata produk dari landasan teologi Islam. Bagaimana duduk persoalannnya?

Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut Al-ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata. Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia. Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Keelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus. Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid) ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”. Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Qur’an. Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46.

Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.

Dalam kitab suci al-Qur’an, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb”. Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. Ilah berari “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah”

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah, atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau “ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25).

Dalam Al-Qur’an kata Allah disebutkan sebanyak 930 kali, Kata ilah (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.

Arti ilah dalam rangkaian syahadah (kalimah al-tahlil) bisa berarti al-ma’bud atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq. Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari al-rububiyah.

Kata rabb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 84 kali. 1 dalam al-fatihah, 1 dalam al-baqarah, 1 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 1 dalam al-thaubah, 2 dalam Yunus, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam al-isra’, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Maryam, 1 dalam Thaha, 2 dalam al-anbiya’, 3 dalam al-mukminun, 15 dalam al-syu’ara’, 4 dalam al-naml, 1 dalam al-qashas, 1 dalam al-sajdah, 1 dalam saba’, 1 dalam Yasin, 6 dalam al-shafat, 1 dalam shat, 1 dalam al-zumar, 3 dalam ghafir, 1 dalam fusshilat, 3 dalam al-zukhruf, 2 dalam al-dukhan, 3 dalam al-jastiah, 1 dalam al-dzari’at, 1 dalam al-najm, 2 dalam al-rahman, 1 dalam al-waqi’ah, 1 dalaal-hasyr, 1 dalam al-haqah, 1 dalam al-mi’raj, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-naba’, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-muthaffifin, 1 dalam Quraisy, 1 dalam al-falaq, 1dalam al-nas.

Selain berupa kata personal Allah, Ilah dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (al-asma al-husna). Kata al-asma al-husna disebutkan 4 kali dalam al-Qur’an, 1 dalam surah al-a’raf ayat 180, 1 dalam al-isra’ ayat 110, 1 dalam Thaha ayat 8, dan 1 dalam al-hasyr ayat 24. Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. Al-hadid: 4, QS. al-a’raf: 180, Thaha: 8, QS. al-isra’: 110, QS. al-hasyr,: 24).

Menurut sebagian mufassir mutakhir, tidak ada dalil qath’iy (definitif) tentang ketentuan jumlah al-asma al-husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99. Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (ahsan al-asma). Semuanya adalah milik Allah SWT. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas..

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-karim, al-raaziq, al-razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunannya dengan memanggil-Nya dengan al-ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-haadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma’ juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam ilmu sharf mencakup ism al-fa’il dan al-sifat al-musyabbahah. Menurut Thabathabai, al-asma al-husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy dan lainnya. Sedangkan kata Allah, adalah alam syakhshi atau alam-al-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan rabb, berjumlah 18, yaitu 4 dalam surah al-an’am, 1 dalam al-ma’idah, 5 dalam al-haj, 1 dalam al-rahman, 2 di al-waqi’ah, 1, dalam al-hāqah, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-insan, 1 dalam Hud, dan 1 dan al-naml. Jika bismillahirrahmanirrahim dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang diidhafahkan pada Allah dan Rab berjumlah 131.

Al-ism al-a’dham, menurut opini masyarakat Arab, adalah ism lafdhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehya, ia tidak tergolong dalam al-asma al-husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafdhul-jalalah. Menurut mereka, al-ism al-a’dham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam bimalah itulah yang dimaksud dengan al-ism al-a’dham. .

Asma’ Allah atau al-asma al-husna kadang kala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (sifatullah). Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama “al-Rahman”, selain nama “Allah”. [l3] Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, ya Rahman”. Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, “Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.“

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahman”, melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama “Allah” dan atau “al-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “al -Rahman” atau “al-Rahim”.

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid al-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Ja’far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi’ah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secarabenar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-Lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh’, (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku (ilmu)”. Ja’far al-Shadiq menyambung, “Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja’far al-Shadiq itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Qur’an memang tidakt ergambarkan, dan tidak sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita Dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.

Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang Arab mengatakan “Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatirkan.

Catatan Kaki

M. Fuad Abdul-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an, hal. 62-63, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

Dalam kaidah gramatika Arab, Tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam

Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-mu’jam al-mufahras, 96, Istanbul

Summa Theologica, Ia, q. 2, a. l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Pustaka Filsafat, hal. 141

M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, vol 1, hal. 26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal: 963

yaitu sebanyak 107 dalam al-baqarah, 116 dalam ali-imran, 32 dalam an-nisa’, 38 dalam al-almaidah, 41 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 35 dalam al-anfal, 67 dalan at-taubah, 20 dalam yunus, 5 dalam hud, 28 dalam yusuf, 1 dalam ar-ro’du, 10 dalam ibrahim, 29 dalam an-nakhl, 3 dalam al-isra’, 8 dalam al-kahfi, 2 dalam maryam, 5 dalam thaha, 1 dalam al-anbitya’, 15 dalam al-haj, 4 dalam al-mukminun, 37 dalam an-nur, 4 dalam ar-furqon, 7 dalam an-naml, 9 dalam al-qashas, 13 dalam al-ankabut, 9 dalam ar-rum, 3 dalam lukman, 1 dalam as-sajdah, 34 dalam al-ahzab, 2 dalam as-saba’, 7 dalam fathir, 2 dalam yasin, 4 dalam as-shafat, 1 dalam shat, 24 dalam az-zumar, 18 dalam ghofir, 2 dalam fusshilat, 19 dalam syura, 1 dalam zukhruf, 1 dalam ad-dukhan, 6 dalam al-jastiah, 1 dalam al-ahqaq, 15 dalam muhammad, 21 dalam al-fath, 7 dalam al-hujurat, 1 dalam at-thur, 2 dalam am-najm, 8 dalam al-hadid , 18 dalam al-mujadalah, 9 dalam al-hasyr, 9 dalkam al-mumtahanah, 1 dalam as-shaf, 4v dalam al-jumu’ah, 6 dalam al-munafiqun, 9 dalam at-taghabun, 8 dalam at-thalaq, 8 dalam at-tahrim, 2 dalam al-mulk, 3 dalam nuh, 1 dalam al-jin, 1 dalam al-muzzammil, 3 dalam al-muddasstir, 2 dalam al-insan, 1 dalam al-nazi’at, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-insyiqaq, 2 dalam dalam al-buruj, 1 dalam al-ghatiah, 1 dalam al-tin, 1 dalam al-bayyinah, 1 dalam al-ikhklas.

4 dalam al-baqarah, 5 dalam ali imran, 2 dalam al-nisa’, 2 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 5 dalam al-a’raf, 2 dalam al-thaubah, 1 dalam Yunus, 4 dalam Hud, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam Ibrahim, 3 dalam al-nakhl, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Thaha, 4 dalam al-anbiya’, 1 dalam al-haj, 5 dalam al-mukminun, 6 dalam al-nahl, 6 dalam al-qashas, 1 dalam Fathir, 1 dalam al-shafat, 1 dalam Shat, 1 dalam al-zumar, 4 dalam Ghafir, 1 dalam fusshilat, 2 dalam zukhruf, 1 dalam al-dukhan, 1 dalam Muhammad, 1 dalam al-thur, 2 dalam al-hasyr, 1 dalam al-taghabun, 1 dalam am-muzzamil, 1 dalam al-nas

M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam Al-mufahras, vol 14, hal. 122, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

Ibid, 362-365

ibid. 459.

Lihat Al-dur al-manstur, al-mustadrak, Sunan Thabarani, Sunan al-Bayhaqi.

Berdasarkan pendapat ini, jumlah asma’ al-husna yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 127, yaitu al-ilah, al-ahad, al-awwal, al-akhir, al-a’la, al-akram, al-a’lam, arham al-rahimin, ahkam al-hakimin, ahsan al-khaliqin, ahl al-taqwa, ahl al-maghfirah, al-tawwab, al-jabbar, al-jami’, al-hakim, al-halim, al-hayy, al-haq, al-hamîd, al-hasîb, al-hafîdh, al-khafi, al-khabir, al-khaliq, al-khallaq, al-khair, khair al-hakimin, khair al-makirin, khair al-raziqin, khair al-fashilin, khair al-fatihin, khair al-ghafirin, khair al-waritsin, kahir al-rahimin, khair al-munzilin, zdu al arsy, zdu al-thaul, zdu al intiqam, dzul al-fazhl al-adhim, dzu al-rahmah, dzul al-quwwah, dzul al-jalal wa al-ikram, dzul al-ma’arij, al-rahman, al-ra’uf, al-rabb, rafi’ al-darajat, al-razzaq, al-raqib, al-sami’, al-salam, sari’ al-hisab, sari’ al-iqab, al-syahid, al-syakir, al-syakur, syadid al-iqab, syadid al-mihal, al-shamad, al-dhahir, al-alim, al-aziz, al-afwu, al-aliy, al-adhim, allam al-ghuyub, alim al-ghyb wa al-syahadah, al-ghaniy, al-ghafur, al-ghalib, ghafir al-dzam, al-ghaffar, faliq al-ishbah, faliq al-habb wa al-nawa, al-fathir, al-fattah, al-qawiy, al-quddus, al-qayyum, al-qahir, al-qahhar, al-qarib, al-qâdir, al-qadîr, qabil al-taub, al-qa’im ala kulli nafs bi ma kasabat, al-kabir, al-karim, al-kafi, al-lathif, al-malik, al-mu’min, al-muhaimin, al-mutakkabir, al-mushawwir, al-majîd, al-mujib, al-mubin, al-mawla, al-muhith, al-muqit, al-muta’al, al-muhyi, al-mutabayyin, al-mutaqaddir, al-musta’an, al-mubdiy, malik al-mulk, al-nashîr, al-nur, al-wahhab, al-wahid, al-walîy, al-wâli, al-wasi’, al-wakil, al-wadud, al-hadiy. Lihat Al-mu’jam Al-mufahras, vol 8, hal. 361-363

Ibid, hal. 124

Fud Abdul-Baqi, Al-mu’jam Al-mufahras, hal. 459, Istanbul.

M.h. Thbathabai, Al-Mizan fi tafsir al-Qur’an,vol. 8, hal. 359, Muassasah Al-alami li al-mathbu’at, Beirut, 1991.

QS. al-Isra’/17:110.

Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 5, Juz 15, hal. 73, Dar Al-syuruq, Cairo, 1987.

Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil oleh al-Nasafi, dll.

Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a., menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

ibid

Selasa, 07 April 2009

DI HARI KIAMAT SELURUH MANUSIA AKAN DITANYA 4 HAL

DI HARI KIAMAT SELURUH MANUSIA AKAN DITANYA EMPAT HAL
Ustadz Husein Alkaff

Pada kesempatan malam ini, ada baiknya kita menyimak sabda-sabda orang-orang suci, khususnya Rasulullah Saww. Ucapan beliau merupakan petunjuk untuk kita semua. Kata-kata beliau adalah cahaya kenabian yang menyinari jalan di tengah kegelapan dunia. Sebaik-baiknya masalah dan bahasan yang kita bicarakan dan kita resapi pada malam ini, adalah kita mengingat kembali dan mempelajari sabda-sabda Rasulullah Saww dan mutiara-mutiara yang keluar dari bibir beliau Saww. Kita yang mengaku sebagai pengikut beliau adalah penting untuk selalu mengingat kembali pesan-pesan yang diberikan oleh Rasulullah Saww.

Tentu kita sadar bahwa alangkah banyaknya petuah-petuah dan pesan-pesan yang di berikan untuk kita semuanya demi kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat. Beliau adalah seorang Nabi yang sangat cinta dan sayang kepada umatnya. Kita berharap agar kita semua bisa bersama beliau menikmati telaga kautsar yang Allah janjikan untuk beliau.

Beberapa hari yang lalu kita memperingati hari kelahiran Rasulullah Saww. Kita berusaha agar peringatan-peringatan semacam itu tidak berlalu begitu saja tanpa kita meresapi dan merenungkan segala apa yang beliau pesankan untuk kita semuanya. Hal itu sebagai hak beliau dan sekaligus sebagai kewajiban kita terhadap Rasulullah Saww.

Dari sekian banyak karunia dan kenikmatan yang Allah Swt. berikan kepada umat manusia, kehadiran Rasulullah Saww. di tengah mereka merupakan karunia Allah Swt. (luthf) yang paling besar. Karunia yang lebih besar dari yang kita pahami atau kita bayangkan. Beliau adalah insan kamil, seorang yang sempurna, sementara kita adalah manusia yang sangat kurang.

Tidak mungkin kita yang terbatas ini dapat meliputi sesuatu yang tak terbatas. Adalah Rasulullah Saww telah sampai kepada maqam yang sangat tinggi sekali. Ketika mi'raj, beliau sampai mendekati maqam yang sangat tinggi, yang tidak bisa diikuti oleh malaikat Jibril sekalipun. Hanya beliaulah yang bisa sampai ke puncak yang sangat tinggi. Kenyataan itu menunjukkan ketinggian dan kehebatan maqam Rasulullah Saww. Tidak mungkin manusia seperti kita dapat mengungkapkan segala kehebatan dan keutamaan yang ada pada diri Rasulullah Saww. Selama ini kita hanya kenal nama beliau saja, " Muhammad bin Abdillah ". Kita hanya mengetahui sejarah beliau saja; kapan beliau lahir dan wafat. Kita hanya mengetahui, siapa putra-putri beliau, dan bagaimana beliau berjuang. Selain itu, kita tidak mengetahui siapa Rasulullah Saww. itu sebenarnya. Jadi, yang kita ketahui hanya kulitnya saja.

Pada kesempatan kali ini, kita berusaha sedikit demi sedikit mempelajari kembali pesan-pesan yang dibawa oleh Rasulullah Saww. Ada sebuah hadis yang insya Allah ada manfaatnya buat kita semua, yang berbunyi : "Di saat hari kiamat tiba, sebelum kaki manusia beranjak, maka akan dipertanyakan empat pertanyaan. Seluruh manusia akan dipertanyakan oleh Allah dengan empat pertanyaan dan mereka harus menjawab empat pertanyaan ini. Namun yang akan menjawab empat masalah ini bukan lisan manusia, tetapi sikap dan tindak-tanduk mereka selama di dunia, karena pada hari itu lisan manusia akan ditutup." Yang akan berbicara adalah anggota badan lainnya selain lisan. Apa pertanyaan yang akan Allah sampaikan kepada kita ? Pertama, adalah tentang usia. Usia atau umur adalah sebuah anugerah yang Allah berikan kepada manusia. Usia ini akan dimintai oleh Nya pertanggung jawabannya. Kitapun harus menjawabnya, untuk apa kita pakai usia ini ? Apakah untuk hal-hal yang diperintahkan Allah Swt. ? Apakah kita pakai untuk ketaatan, kebaikan dan ketaqwaan ? atau justru sebaliknya kita pakai untuk hal-hal yang menjadikan Allah murka, kemaksiatan, kedurjanaan, kelalaian terhadap perintah-perintah Allah Swt dan larangan-larangannya.

Segala yang kita lakukan dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, sampai kita meninggal dunia, semua itu akan dipertanyakan oleh Allah Swt. Apa yang kita kerjakan selama hidup di dunia ini ?. Yang akan menjawab pertanyaan ini bukan lisan kita, tetapi anggota badan kita selain lisan. Andaikan kita selama hidup di dunia ini banyak mengerjakan kebaikan dengan ikhlas, maka kita akan menjawabnya dengan benar, karena di sana tidak ada kesempatan untuk berbohong dan berdusta kepada Allah Swt. Kedua, tentang bagian yang khusus dari usia manusia. Yaitu tentang masa muda. Kalau pertanyaan yang pertama sifatnya umum, sejak masa akil baligh sampai mati. Masa muda itu akan dipertanyakan secara khusus. Bagaimana seseorang melewatkan masa mudanya ?. Allah Swt. tidak akan mempertanyakan masa tua, atau bagaimana mengakhiri masa tuanya ? Allah Swt. tidak menanyakan masa kanak-kanak, tetapi masa muda. Karena masa muda adalah saat orang berada pada puncak ketegaran fisik dan kecerdasannya. Dalam usia muda, seseorang dapat mengerjakan banyak hal yang tidak mungkin dikerjakan oleh orang yang sudah tua karena fisiknya sudah lemah, dan anak kecil karena akalnya belum sempurna.

Ketika dia punya badan sehat, apakah dia gunakan untuk membantu fakir miskin ? Apakah dia menyantuni orang-orang yang perlu bantuan ? atau sebaliknya dia pakai untuk memukul orang-orang yang tak bersalah, bermain hura-hura, membuang waktu begitu saja, membuang tenaga untuk hal-hal yang sifatnya merugikan dia dan juga merugikan orang lain.

Ketika dia punya kecerdasan dan otak yang masih segar, apakah dia memikirkan hal-hal yang menguntungkan dan membahagiakannya di dunia dan di akhirat ? Apakah dipakai untuk belajar, untuk bertafakur atau tidak ? Atau kecerdasan itu, digunakan untuk hal-hal yang merugikan dia, dan memikirkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masa muda masa yang sangat didambakan, yang diangan-angankan oleh orang yang sudah tua. Sebuah syair Arab mengatakan, "Duhai alangkah bahagianya aku, sekiranya masa muda kembali lagi padaku, maka akan kuberi tahu pada orang-orang tentang derita dan kesulitan masa tua."

Orang yang sudah tua senantiasa ingin muda kembali. Dia ingin berbuat hal yang banyak, karena ketika sudah tua, dia tidak mampu berbuat yang dia inginkan. Kita sekarang ini, alhamdulillah masih muda. Kesempatan yang sangat berharga sekali ini, harus kita lalui dengan kebaikan-kebaikan, mumpung kita dalam kondisi yang masih prima dalam segala hal, fisik dan kecerdasan. Itu pertanyaan kedua yang akan dipertanggung jawabkan, dan kita dituntut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ketiga, tentang nafkah, mai'syah, atau mata pencahariannya. Dari mana dia memperoleh kekayaan dan harta. Apakah dengan cara yang halal atau tidak ? Ketika dia berusaha mencari uang dengan cara yang halal sesuai dengan garis Islam, maka dia sangat beruntung sekali. Dia telah memperoleh harta yang halal. Atau sebaliknya, dia mencari harta dan bekerja dengan cara yang tidak sah, sehingga dia memperoleh harta yang haram dan makan barang yang haram. Sekarang ini, ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar, " Jangankan mencari rizki yang halal, yang haram pun sulit ". Ungkapan ini muncul karena kekecewaan yang dalam terhadap apa yang terjadi di sekitar lingkungan kita dan karena keyakinan yang lemah terhadap janji Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan Adil. Orang yang sungguh-sungguh berjuang dan berjihad di jalan Allah Swt, pasti diberi peluang olehNya. Memang benar, sekarang ini kolusi, korupsi, pencopetan, penipuan, pemalsuan dan lain sebagainya terjadi di mana-mana. Tapi sekiranya mempunyai niat yang ikhlas dan tawakal kepada Allah Swt. dalam mencari harta yang halal, pasti Allah akan memberi peluang kepada kita.

Setelah seseorang memperoleh harta dengan cara yang benar dan halal, lalu harta itu digunakan untuk apa ?. Apakah setelah dia memperoleh harta yang halal, dia gunakan untuk kepentingan pribadi saja yang berlebih-lebihan, atau juga disamping untuk kepentingan pribadi, dia membantu fakir-miskin yang membutuhkan dan memerlukannya. Terkadang seseorang mendapatkan uang yang halal berlimpah ruah, tetapi dia tidak mempunyai kepedulian sosial sehingga enggan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Ada sebuah syair dari Al- Imam Ali a.s., beliau berkata : "Anda sudah dikatakan sebagai orang yang sakit, ketika anda tidur dengan perut kenyang, sementara di sekitar anda terdapat perut-perut yang merindukan makanan."

Boleh jadi kita mendapatkan uang yang cukup sesuai dengan kebutuhan kita. Kita tidak dilarang untuk menikmati harta kekayaan yang Allah berikan kepada kita. Islam tidak melarang kita untuk menikmati rizki Allah. Kita ,malah, diperintahkan agar menikmati karunia Allah Swt., namun sekiranya ada kelebihan maka berikanlah kepada orang lain. Sekarang ini banyak orang yang kaya raya (konglomerat ). Mereka serakah sekali. Mereka tidak cukup dengan kekayaan yang dia miliki, dia berusaha terus membuka lapangan kerja, sehingga harta kekayaannya menumpuk, yang tidak hanya dinikmati oleh dia saja, tetapi juga dia berusaha agar kekayaannya dapat dinikmati oleh tujuh turunannya. Dengan demikian, mereka melupakan orang-orang yang digeser tanahnya, orang-orang yang hidup di kolong jembatan, anak-anak kecil yang berlari mengejar bis kota dengan pakaian compang-camping untuk menjual koran dan majalah sehingga mengorbankan pendidikannya. Mereka melupakan orang-orang tersebut. Kemudian, yang terakhir adalah pertanyaan yang lebih penting dari semua itu, yakni pertanyaan tentang kecintaan kita terhadap Ahlul Bait a.s. Mengapa kecintaan kepada Ahlul Bait dipertanyakan pada hari qiamat ?. Karena kecintaan kepada mereka sebagai parameter keimanan dan kesetiaan kepada Rasulullah Saww. Seorang muslim sudah bisa dipastikan mencintai Rasulullah Saww, namun untuk membuktikan sejauh mana kecintaannya itu benar dan sungguh-sungguh, maka bukti itu dinyatakan dengan kecintaan kepada keluarganya. AllahSwt.berfirman, " Katakanlah ( hai Muhammad )," Aku tidak meminta dari kalian upah atasnya ( dakwah Islam ini ) kecuali mencintai kepada keluargaku ".( QS. al Syura : 23 ) Selain ayat ini, banyak ayat lain yang mewajibkan kita untuk mencintai dan mengikuti Ahlul Bait a.s. dan juga hadis-hadis dari Rasulullah Saww. Hal itu menunjukkan pentingnya kedudukan mereka sebagai penerus dan pengganti fungsi kenabian. Hadis-hadis tentang pentingnya kedudukan mereka tertulis dalam berbagai kitab hadis, seperti, kitab Shohih Bukhari, Shohih Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.

Pertanyaan tentang Ahlul Bait a.s. tentu berkisar pada masalah ketaatan dan keikut sertaan manusia dengan mereka. Kenyataan sejarah kaum muslimin menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang meninggalkan Ahlul Bait a.s., bahkan ada pula yang memusuhi Ahlul Bait. Rasulullah Saww. berkali-kali mengingatkan kaum muslimin tentang Ahlul Bait a.s. dengan mengatakan, " Allah, Allah, ( hati-hati )terhadap keluargaku. Janganlah kalian mendahului mereka atau menjauhi mereka, maka kalian akan tersesat ".

Jadi cinta kepada Ahlul Bait itu termasuk soal dan pertanyaan yang akan Allah ajukan kepada kita semuanya. Oleh karena itu, kita berusaha untuk meningkatkan kecintaan kita kepada Ahlul Bait dan berusaha untuk berada di belakang mereka. Kita berusaha agar seperti Salman Al-Farisi yang secara batin dan lahir selalu mengikuti Ahlul Bait a.s.

Ada sebuah cerita yang menarik untuk kita perhatikan. Ketika Imam Ali a.s. hidup di Kufah, beliau selalu menjadi imam shalat subuh di masjid Kufah. Dan Salman Al-Farisi selalu berdiri di belakang Imam Ali a.s. Kemudian seorang sahabat beliau iri hati ingin berdiri di belakang beliau. Untuk itu, dia berusaha berangkat ke mesjid sedini mungkin agar dapat sholat dibelakang Imam Ali a.s. Sesampainya di depan mesjid, dia senang bahwa di mesjid hanya ada seorang saja, dan itu pasti Imam Ali a.s. Karena waktu itu, teras mesjid masih berupa tanah sehingga pijakan orang yang jalan akan meninggalkan bekas.

Maka dengan senang hati dia masuk ke masjid dengan harapan besar dapat sholat di belakang Imam Ali a.s. Tetapi, ternyata Salman al Farisi sudah berada di belakang Imam Ali a.s.?. Lalu orang itu menanyakan tentang dari mana Salman masuk ke mesjid. Salman menjawab bahwa dia datang dengan cara melangkahkan kakinya di atas bekas telapak kaki Imam Ali a.s., karena dia yakin bahwa bekas telapak kaki Imam Ali a.s. pasti diridhoi Allah Swt.

Sampai sejauh itulah Salman mengikuti Ahlul Bait. Oleh karena itu, Rasulullah Saww. pernah bersabda, " Salman minna Ahlal Bait ".( Salman termasuk dari kami, Ahlul bait ). Hal itu, karena kecintaan dan ketaatan beliau kepada Rasulullah Saww. dan Ahlul Baitnya a.s. Kita selama ini baru mengenal Ahlul Bait a.s. sebatas sejarah mereka saja, tetapi selain itu kita mungkin belum mengenal siapa mereka sebenarnya dan bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah Swt. serta fungsi mereka di alam semesta ini. Mari kita berusaha sedikit demi sedikit agar lebih jauh dapat mengenal mereka, dengan harapan agar kita diakui sebagai orang yang cinta kepada mereka, insya Allah.

Ini hanya sebagai bahan renungan, bahan resapan yang perlu kita resapi pada malam yang penuh berkah ini. Dengan harapan semoga kita terus mencintai dan berusaha mengikuti jejak mereka Ahlul Bait a.s.