Jumat, 17 April 2009

Kata " Allah " Hak Cipta Siapa ????

Kata “Allah” Copyright Siapa?


Belakangan ini muncul kontroversi seputar copyright kata “Allah”. Dikabarkan bahwa Pemerintah Malaysia melarang kaum Kristen menggunakannya. Alasannya, kata Allah merupakan kata produk dari landasan teologi Islam. Bagaimana duduk persoalannnya?

Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut Al-ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata. Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia. Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Keelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus. Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid) ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”. Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Qur’an. Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46.

Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.

Dalam kitab suci al-Qur’an, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb”. Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. Ilah berari “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah”

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah, atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau “ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25).

Dalam Al-Qur’an kata Allah disebutkan sebanyak 930 kali, Kata ilah (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.

Arti ilah dalam rangkaian syahadah (kalimah al-tahlil) bisa berarti al-ma’bud atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq. Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari al-rububiyah.

Kata rabb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 84 kali. 1 dalam al-fatihah, 1 dalam al-baqarah, 1 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 1 dalam al-thaubah, 2 dalam Yunus, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam al-isra’, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Maryam, 1 dalam Thaha, 2 dalam al-anbiya’, 3 dalam al-mukminun, 15 dalam al-syu’ara’, 4 dalam al-naml, 1 dalam al-qashas, 1 dalam al-sajdah, 1 dalam saba’, 1 dalam Yasin, 6 dalam al-shafat, 1 dalam shat, 1 dalam al-zumar, 3 dalam ghafir, 1 dalam fusshilat, 3 dalam al-zukhruf, 2 dalam al-dukhan, 3 dalam al-jastiah, 1 dalam al-dzari’at, 1 dalam al-najm, 2 dalam al-rahman, 1 dalam al-waqi’ah, 1 dalaal-hasyr, 1 dalam al-haqah, 1 dalam al-mi’raj, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-naba’, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-muthaffifin, 1 dalam Quraisy, 1 dalam al-falaq, 1dalam al-nas.

Selain berupa kata personal Allah, Ilah dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (al-asma al-husna). Kata al-asma al-husna disebutkan 4 kali dalam al-Qur’an, 1 dalam surah al-a’raf ayat 180, 1 dalam al-isra’ ayat 110, 1 dalam Thaha ayat 8, dan 1 dalam al-hasyr ayat 24. Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. Al-hadid: 4, QS. al-a’raf: 180, Thaha: 8, QS. al-isra’: 110, QS. al-hasyr,: 24).

Menurut sebagian mufassir mutakhir, tidak ada dalil qath’iy (definitif) tentang ketentuan jumlah al-asma al-husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99. Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (ahsan al-asma). Semuanya adalah milik Allah SWT. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas..

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-karim, al-raaziq, al-razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunannya dengan memanggil-Nya dengan al-ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-haadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma’ juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam ilmu sharf mencakup ism al-fa’il dan al-sifat al-musyabbahah. Menurut Thabathabai, al-asma al-husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy dan lainnya. Sedangkan kata Allah, adalah alam syakhshi atau alam-al-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan rabb, berjumlah 18, yaitu 4 dalam surah al-an’am, 1 dalam al-ma’idah, 5 dalam al-haj, 1 dalam al-rahman, 2 di al-waqi’ah, 1, dalam al-hāqah, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-insan, 1 dalam Hud, dan 1 dan al-naml. Jika bismillahirrahmanirrahim dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang diidhafahkan pada Allah dan Rab berjumlah 131.

Al-ism al-a’dham, menurut opini masyarakat Arab, adalah ism lafdhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehya, ia tidak tergolong dalam al-asma al-husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafdhul-jalalah. Menurut mereka, al-ism al-a’dham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam bimalah itulah yang dimaksud dengan al-ism al-a’dham. .

Asma’ Allah atau al-asma al-husna kadang kala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (sifatullah). Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama “al-Rahman”, selain nama “Allah”. [l3] Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, ya Rahman”. Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, “Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.“

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahman”, melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama “Allah” dan atau “al-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “al -Rahman” atau “al-Rahim”.

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid al-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Ja’far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi’ah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secarabenar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-Lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh’, (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku (ilmu)”. Ja’far al-Shadiq menyambung, “Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja’far al-Shadiq itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Qur’an memang tidakt ergambarkan, dan tidak sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita Dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.

Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang Arab mengatakan “Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatirkan.

Catatan Kaki

M. Fuad Abdul-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an, hal. 62-63, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

Dalam kaidah gramatika Arab, Tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam

Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-mu’jam al-mufahras, 96, Istanbul

Summa Theologica, Ia, q. 2, a. l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Pustaka Filsafat, hal. 141

M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, vol 1, hal. 26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal: 963

yaitu sebanyak 107 dalam al-baqarah, 116 dalam ali-imran, 32 dalam an-nisa’, 38 dalam al-almaidah, 41 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 35 dalam al-anfal, 67 dalan at-taubah, 20 dalam yunus, 5 dalam hud, 28 dalam yusuf, 1 dalam ar-ro’du, 10 dalam ibrahim, 29 dalam an-nakhl, 3 dalam al-isra’, 8 dalam al-kahfi, 2 dalam maryam, 5 dalam thaha, 1 dalam al-anbitya’, 15 dalam al-haj, 4 dalam al-mukminun, 37 dalam an-nur, 4 dalam ar-furqon, 7 dalam an-naml, 9 dalam al-qashas, 13 dalam al-ankabut, 9 dalam ar-rum, 3 dalam lukman, 1 dalam as-sajdah, 34 dalam al-ahzab, 2 dalam as-saba’, 7 dalam fathir, 2 dalam yasin, 4 dalam as-shafat, 1 dalam shat, 24 dalam az-zumar, 18 dalam ghofir, 2 dalam fusshilat, 19 dalam syura, 1 dalam zukhruf, 1 dalam ad-dukhan, 6 dalam al-jastiah, 1 dalam al-ahqaq, 15 dalam muhammad, 21 dalam al-fath, 7 dalam al-hujurat, 1 dalam at-thur, 2 dalam am-najm, 8 dalam al-hadid , 18 dalam al-mujadalah, 9 dalam al-hasyr, 9 dalkam al-mumtahanah, 1 dalam as-shaf, 4v dalam al-jumu’ah, 6 dalam al-munafiqun, 9 dalam at-taghabun, 8 dalam at-thalaq, 8 dalam at-tahrim, 2 dalam al-mulk, 3 dalam nuh, 1 dalam al-jin, 1 dalam al-muzzammil, 3 dalam al-muddasstir, 2 dalam al-insan, 1 dalam al-nazi’at, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-insyiqaq, 2 dalam dalam al-buruj, 1 dalam al-ghatiah, 1 dalam al-tin, 1 dalam al-bayyinah, 1 dalam al-ikhklas.

4 dalam al-baqarah, 5 dalam ali imran, 2 dalam al-nisa’, 2 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 5 dalam al-a’raf, 2 dalam al-thaubah, 1 dalam Yunus, 4 dalam Hud, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam Ibrahim, 3 dalam al-nakhl, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Thaha, 4 dalam al-anbiya’, 1 dalam al-haj, 5 dalam al-mukminun, 6 dalam al-nahl, 6 dalam al-qashas, 1 dalam Fathir, 1 dalam al-shafat, 1 dalam Shat, 1 dalam al-zumar, 4 dalam Ghafir, 1 dalam fusshilat, 2 dalam zukhruf, 1 dalam al-dukhan, 1 dalam Muhammad, 1 dalam al-thur, 2 dalam al-hasyr, 1 dalam al-taghabun, 1 dalam am-muzzamil, 1 dalam al-nas

M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam Al-mufahras, vol 14, hal. 122, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

Ibid, 362-365

ibid. 459.

Lihat Al-dur al-manstur, al-mustadrak, Sunan Thabarani, Sunan al-Bayhaqi.

Berdasarkan pendapat ini, jumlah asma’ al-husna yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 127, yaitu al-ilah, al-ahad, al-awwal, al-akhir, al-a’la, al-akram, al-a’lam, arham al-rahimin, ahkam al-hakimin, ahsan al-khaliqin, ahl al-taqwa, ahl al-maghfirah, al-tawwab, al-jabbar, al-jami’, al-hakim, al-halim, al-hayy, al-haq, al-hamîd, al-hasîb, al-hafîdh, al-khafi, al-khabir, al-khaliq, al-khallaq, al-khair, khair al-hakimin, khair al-makirin, khair al-raziqin, khair al-fashilin, khair al-fatihin, khair al-ghafirin, khair al-waritsin, kahir al-rahimin, khair al-munzilin, zdu al arsy, zdu al-thaul, zdu al intiqam, dzul al-fazhl al-adhim, dzu al-rahmah, dzul al-quwwah, dzul al-jalal wa al-ikram, dzul al-ma’arij, al-rahman, al-ra’uf, al-rabb, rafi’ al-darajat, al-razzaq, al-raqib, al-sami’, al-salam, sari’ al-hisab, sari’ al-iqab, al-syahid, al-syakir, al-syakur, syadid al-iqab, syadid al-mihal, al-shamad, al-dhahir, al-alim, al-aziz, al-afwu, al-aliy, al-adhim, allam al-ghuyub, alim al-ghyb wa al-syahadah, al-ghaniy, al-ghafur, al-ghalib, ghafir al-dzam, al-ghaffar, faliq al-ishbah, faliq al-habb wa al-nawa, al-fathir, al-fattah, al-qawiy, al-quddus, al-qayyum, al-qahir, al-qahhar, al-qarib, al-qâdir, al-qadîr, qabil al-taub, al-qa’im ala kulli nafs bi ma kasabat, al-kabir, al-karim, al-kafi, al-lathif, al-malik, al-mu’min, al-muhaimin, al-mutakkabir, al-mushawwir, al-majîd, al-mujib, al-mubin, al-mawla, al-muhith, al-muqit, al-muta’al, al-muhyi, al-mutabayyin, al-mutaqaddir, al-musta’an, al-mubdiy, malik al-mulk, al-nashîr, al-nur, al-wahhab, al-wahid, al-walîy, al-wâli, al-wasi’, al-wakil, al-wadud, al-hadiy. Lihat Al-mu’jam Al-mufahras, vol 8, hal. 361-363

Ibid, hal. 124

Fud Abdul-Baqi, Al-mu’jam Al-mufahras, hal. 459, Istanbul.

M.h. Thbathabai, Al-Mizan fi tafsir al-Qur’an,vol. 8, hal. 359, Muassasah Al-alami li al-mathbu’at, Beirut, 1991.

QS. al-Isra’/17:110.

Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 5, Juz 15, hal. 73, Dar Al-syuruq, Cairo, 1987.

Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil oleh al-Nasafi, dll.

Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a., menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

ibid

Selasa, 07 April 2009

DI HARI KIAMAT SELURUH MANUSIA AKAN DITANYA 4 HAL

DI HARI KIAMAT SELURUH MANUSIA AKAN DITANYA EMPAT HAL
Ustadz Husein Alkaff

Pada kesempatan malam ini, ada baiknya kita menyimak sabda-sabda orang-orang suci, khususnya Rasulullah Saww. Ucapan beliau merupakan petunjuk untuk kita semua. Kata-kata beliau adalah cahaya kenabian yang menyinari jalan di tengah kegelapan dunia. Sebaik-baiknya masalah dan bahasan yang kita bicarakan dan kita resapi pada malam ini, adalah kita mengingat kembali dan mempelajari sabda-sabda Rasulullah Saww dan mutiara-mutiara yang keluar dari bibir beliau Saww. Kita yang mengaku sebagai pengikut beliau adalah penting untuk selalu mengingat kembali pesan-pesan yang diberikan oleh Rasulullah Saww.

Tentu kita sadar bahwa alangkah banyaknya petuah-petuah dan pesan-pesan yang di berikan untuk kita semuanya demi kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat. Beliau adalah seorang Nabi yang sangat cinta dan sayang kepada umatnya. Kita berharap agar kita semua bisa bersama beliau menikmati telaga kautsar yang Allah janjikan untuk beliau.

Beberapa hari yang lalu kita memperingati hari kelahiran Rasulullah Saww. Kita berusaha agar peringatan-peringatan semacam itu tidak berlalu begitu saja tanpa kita meresapi dan merenungkan segala apa yang beliau pesankan untuk kita semuanya. Hal itu sebagai hak beliau dan sekaligus sebagai kewajiban kita terhadap Rasulullah Saww.

Dari sekian banyak karunia dan kenikmatan yang Allah Swt. berikan kepada umat manusia, kehadiran Rasulullah Saww. di tengah mereka merupakan karunia Allah Swt. (luthf) yang paling besar. Karunia yang lebih besar dari yang kita pahami atau kita bayangkan. Beliau adalah insan kamil, seorang yang sempurna, sementara kita adalah manusia yang sangat kurang.

Tidak mungkin kita yang terbatas ini dapat meliputi sesuatu yang tak terbatas. Adalah Rasulullah Saww telah sampai kepada maqam yang sangat tinggi sekali. Ketika mi'raj, beliau sampai mendekati maqam yang sangat tinggi, yang tidak bisa diikuti oleh malaikat Jibril sekalipun. Hanya beliaulah yang bisa sampai ke puncak yang sangat tinggi. Kenyataan itu menunjukkan ketinggian dan kehebatan maqam Rasulullah Saww. Tidak mungkin manusia seperti kita dapat mengungkapkan segala kehebatan dan keutamaan yang ada pada diri Rasulullah Saww. Selama ini kita hanya kenal nama beliau saja, " Muhammad bin Abdillah ". Kita hanya mengetahui sejarah beliau saja; kapan beliau lahir dan wafat. Kita hanya mengetahui, siapa putra-putri beliau, dan bagaimana beliau berjuang. Selain itu, kita tidak mengetahui siapa Rasulullah Saww. itu sebenarnya. Jadi, yang kita ketahui hanya kulitnya saja.

Pada kesempatan kali ini, kita berusaha sedikit demi sedikit mempelajari kembali pesan-pesan yang dibawa oleh Rasulullah Saww. Ada sebuah hadis yang insya Allah ada manfaatnya buat kita semua, yang berbunyi : "Di saat hari kiamat tiba, sebelum kaki manusia beranjak, maka akan dipertanyakan empat pertanyaan. Seluruh manusia akan dipertanyakan oleh Allah dengan empat pertanyaan dan mereka harus menjawab empat pertanyaan ini. Namun yang akan menjawab empat masalah ini bukan lisan manusia, tetapi sikap dan tindak-tanduk mereka selama di dunia, karena pada hari itu lisan manusia akan ditutup." Yang akan berbicara adalah anggota badan lainnya selain lisan. Apa pertanyaan yang akan Allah sampaikan kepada kita ? Pertama, adalah tentang usia. Usia atau umur adalah sebuah anugerah yang Allah berikan kepada manusia. Usia ini akan dimintai oleh Nya pertanggung jawabannya. Kitapun harus menjawabnya, untuk apa kita pakai usia ini ? Apakah untuk hal-hal yang diperintahkan Allah Swt. ? Apakah kita pakai untuk ketaatan, kebaikan dan ketaqwaan ? atau justru sebaliknya kita pakai untuk hal-hal yang menjadikan Allah murka, kemaksiatan, kedurjanaan, kelalaian terhadap perintah-perintah Allah Swt dan larangan-larangannya.

Segala yang kita lakukan dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, sampai kita meninggal dunia, semua itu akan dipertanyakan oleh Allah Swt. Apa yang kita kerjakan selama hidup di dunia ini ?. Yang akan menjawab pertanyaan ini bukan lisan kita, tetapi anggota badan kita selain lisan. Andaikan kita selama hidup di dunia ini banyak mengerjakan kebaikan dengan ikhlas, maka kita akan menjawabnya dengan benar, karena di sana tidak ada kesempatan untuk berbohong dan berdusta kepada Allah Swt. Kedua, tentang bagian yang khusus dari usia manusia. Yaitu tentang masa muda. Kalau pertanyaan yang pertama sifatnya umum, sejak masa akil baligh sampai mati. Masa muda itu akan dipertanyakan secara khusus. Bagaimana seseorang melewatkan masa mudanya ?. Allah Swt. tidak akan mempertanyakan masa tua, atau bagaimana mengakhiri masa tuanya ? Allah Swt. tidak menanyakan masa kanak-kanak, tetapi masa muda. Karena masa muda adalah saat orang berada pada puncak ketegaran fisik dan kecerdasannya. Dalam usia muda, seseorang dapat mengerjakan banyak hal yang tidak mungkin dikerjakan oleh orang yang sudah tua karena fisiknya sudah lemah, dan anak kecil karena akalnya belum sempurna.

Ketika dia punya badan sehat, apakah dia gunakan untuk membantu fakir miskin ? Apakah dia menyantuni orang-orang yang perlu bantuan ? atau sebaliknya dia pakai untuk memukul orang-orang yang tak bersalah, bermain hura-hura, membuang waktu begitu saja, membuang tenaga untuk hal-hal yang sifatnya merugikan dia dan juga merugikan orang lain.

Ketika dia punya kecerdasan dan otak yang masih segar, apakah dia memikirkan hal-hal yang menguntungkan dan membahagiakannya di dunia dan di akhirat ? Apakah dipakai untuk belajar, untuk bertafakur atau tidak ? Atau kecerdasan itu, digunakan untuk hal-hal yang merugikan dia, dan memikirkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masa muda masa yang sangat didambakan, yang diangan-angankan oleh orang yang sudah tua. Sebuah syair Arab mengatakan, "Duhai alangkah bahagianya aku, sekiranya masa muda kembali lagi padaku, maka akan kuberi tahu pada orang-orang tentang derita dan kesulitan masa tua."

Orang yang sudah tua senantiasa ingin muda kembali. Dia ingin berbuat hal yang banyak, karena ketika sudah tua, dia tidak mampu berbuat yang dia inginkan. Kita sekarang ini, alhamdulillah masih muda. Kesempatan yang sangat berharga sekali ini, harus kita lalui dengan kebaikan-kebaikan, mumpung kita dalam kondisi yang masih prima dalam segala hal, fisik dan kecerdasan. Itu pertanyaan kedua yang akan dipertanggung jawabkan, dan kita dituntut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ketiga, tentang nafkah, mai'syah, atau mata pencahariannya. Dari mana dia memperoleh kekayaan dan harta. Apakah dengan cara yang halal atau tidak ? Ketika dia berusaha mencari uang dengan cara yang halal sesuai dengan garis Islam, maka dia sangat beruntung sekali. Dia telah memperoleh harta yang halal. Atau sebaliknya, dia mencari harta dan bekerja dengan cara yang tidak sah, sehingga dia memperoleh harta yang haram dan makan barang yang haram. Sekarang ini, ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar, " Jangankan mencari rizki yang halal, yang haram pun sulit ". Ungkapan ini muncul karena kekecewaan yang dalam terhadap apa yang terjadi di sekitar lingkungan kita dan karena keyakinan yang lemah terhadap janji Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan Adil. Orang yang sungguh-sungguh berjuang dan berjihad di jalan Allah Swt, pasti diberi peluang olehNya. Memang benar, sekarang ini kolusi, korupsi, pencopetan, penipuan, pemalsuan dan lain sebagainya terjadi di mana-mana. Tapi sekiranya mempunyai niat yang ikhlas dan tawakal kepada Allah Swt. dalam mencari harta yang halal, pasti Allah akan memberi peluang kepada kita.

Setelah seseorang memperoleh harta dengan cara yang benar dan halal, lalu harta itu digunakan untuk apa ?. Apakah setelah dia memperoleh harta yang halal, dia gunakan untuk kepentingan pribadi saja yang berlebih-lebihan, atau juga disamping untuk kepentingan pribadi, dia membantu fakir-miskin yang membutuhkan dan memerlukannya. Terkadang seseorang mendapatkan uang yang halal berlimpah ruah, tetapi dia tidak mempunyai kepedulian sosial sehingga enggan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Ada sebuah syair dari Al- Imam Ali a.s., beliau berkata : "Anda sudah dikatakan sebagai orang yang sakit, ketika anda tidur dengan perut kenyang, sementara di sekitar anda terdapat perut-perut yang merindukan makanan."

Boleh jadi kita mendapatkan uang yang cukup sesuai dengan kebutuhan kita. Kita tidak dilarang untuk menikmati harta kekayaan yang Allah berikan kepada kita. Islam tidak melarang kita untuk menikmati rizki Allah. Kita ,malah, diperintahkan agar menikmati karunia Allah Swt., namun sekiranya ada kelebihan maka berikanlah kepada orang lain. Sekarang ini banyak orang yang kaya raya (konglomerat ). Mereka serakah sekali. Mereka tidak cukup dengan kekayaan yang dia miliki, dia berusaha terus membuka lapangan kerja, sehingga harta kekayaannya menumpuk, yang tidak hanya dinikmati oleh dia saja, tetapi juga dia berusaha agar kekayaannya dapat dinikmati oleh tujuh turunannya. Dengan demikian, mereka melupakan orang-orang yang digeser tanahnya, orang-orang yang hidup di kolong jembatan, anak-anak kecil yang berlari mengejar bis kota dengan pakaian compang-camping untuk menjual koran dan majalah sehingga mengorbankan pendidikannya. Mereka melupakan orang-orang tersebut. Kemudian, yang terakhir adalah pertanyaan yang lebih penting dari semua itu, yakni pertanyaan tentang kecintaan kita terhadap Ahlul Bait a.s. Mengapa kecintaan kepada Ahlul Bait dipertanyakan pada hari qiamat ?. Karena kecintaan kepada mereka sebagai parameter keimanan dan kesetiaan kepada Rasulullah Saww. Seorang muslim sudah bisa dipastikan mencintai Rasulullah Saww, namun untuk membuktikan sejauh mana kecintaannya itu benar dan sungguh-sungguh, maka bukti itu dinyatakan dengan kecintaan kepada keluarganya. AllahSwt.berfirman, " Katakanlah ( hai Muhammad )," Aku tidak meminta dari kalian upah atasnya ( dakwah Islam ini ) kecuali mencintai kepada keluargaku ".( QS. al Syura : 23 ) Selain ayat ini, banyak ayat lain yang mewajibkan kita untuk mencintai dan mengikuti Ahlul Bait a.s. dan juga hadis-hadis dari Rasulullah Saww. Hal itu menunjukkan pentingnya kedudukan mereka sebagai penerus dan pengganti fungsi kenabian. Hadis-hadis tentang pentingnya kedudukan mereka tertulis dalam berbagai kitab hadis, seperti, kitab Shohih Bukhari, Shohih Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.

Pertanyaan tentang Ahlul Bait a.s. tentu berkisar pada masalah ketaatan dan keikut sertaan manusia dengan mereka. Kenyataan sejarah kaum muslimin menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang meninggalkan Ahlul Bait a.s., bahkan ada pula yang memusuhi Ahlul Bait. Rasulullah Saww. berkali-kali mengingatkan kaum muslimin tentang Ahlul Bait a.s. dengan mengatakan, " Allah, Allah, ( hati-hati )terhadap keluargaku. Janganlah kalian mendahului mereka atau menjauhi mereka, maka kalian akan tersesat ".

Jadi cinta kepada Ahlul Bait itu termasuk soal dan pertanyaan yang akan Allah ajukan kepada kita semuanya. Oleh karena itu, kita berusaha untuk meningkatkan kecintaan kita kepada Ahlul Bait dan berusaha untuk berada di belakang mereka. Kita berusaha agar seperti Salman Al-Farisi yang secara batin dan lahir selalu mengikuti Ahlul Bait a.s.

Ada sebuah cerita yang menarik untuk kita perhatikan. Ketika Imam Ali a.s. hidup di Kufah, beliau selalu menjadi imam shalat subuh di masjid Kufah. Dan Salman Al-Farisi selalu berdiri di belakang Imam Ali a.s. Kemudian seorang sahabat beliau iri hati ingin berdiri di belakang beliau. Untuk itu, dia berusaha berangkat ke mesjid sedini mungkin agar dapat sholat dibelakang Imam Ali a.s. Sesampainya di depan mesjid, dia senang bahwa di mesjid hanya ada seorang saja, dan itu pasti Imam Ali a.s. Karena waktu itu, teras mesjid masih berupa tanah sehingga pijakan orang yang jalan akan meninggalkan bekas.

Maka dengan senang hati dia masuk ke masjid dengan harapan besar dapat sholat di belakang Imam Ali a.s. Tetapi, ternyata Salman al Farisi sudah berada di belakang Imam Ali a.s.?. Lalu orang itu menanyakan tentang dari mana Salman masuk ke mesjid. Salman menjawab bahwa dia datang dengan cara melangkahkan kakinya di atas bekas telapak kaki Imam Ali a.s., karena dia yakin bahwa bekas telapak kaki Imam Ali a.s. pasti diridhoi Allah Swt.

Sampai sejauh itulah Salman mengikuti Ahlul Bait. Oleh karena itu, Rasulullah Saww. pernah bersabda, " Salman minna Ahlal Bait ".( Salman termasuk dari kami, Ahlul bait ). Hal itu, karena kecintaan dan ketaatan beliau kepada Rasulullah Saww. dan Ahlul Baitnya a.s. Kita selama ini baru mengenal Ahlul Bait a.s. sebatas sejarah mereka saja, tetapi selain itu kita mungkin belum mengenal siapa mereka sebenarnya dan bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah Swt. serta fungsi mereka di alam semesta ini. Mari kita berusaha sedikit demi sedikit agar lebih jauh dapat mengenal mereka, dengan harapan agar kita diakui sebagai orang yang cinta kepada mereka, insya Allah.

Ini hanya sebagai bahan renungan, bahan resapan yang perlu kita resapi pada malam yang penuh berkah ini. Dengan harapan semoga kita terus mencintai dan berusaha mengikuti jejak mereka Ahlul Bait a.s.

Sabtu, 03 Januari 2009

Adakah Jabatan Imam Allah?


Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41:8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).

8 Responses to “Adakah Jabatan Imam Allah?”

  1. Salam,
    sangat menarik sekali, apalagi ternyata ada ungkapan “12 imam” dari keturunan Ismail AS yang tertera di kitab kejadian.
    Kalau sudah begini, bahkan orang-orang Nasrani dan Yahudi pun seharusnya sudah tak ada lagi hujjah untuk tidak mengikuti Islam dan dua belas imam-nya, apalagi kaum Muslimin.
    Ahsantum.
    Salam.

  2. [...] Adapun artikel-artikel kristologi lainnya yang terkait dengan pembahasan imamah adalah “Adakah Jabatan Imam Allah?. Jazakallah [...]

  3. kenapa ngambil dalil mslh imam atau keimaman atua apalah itu..dari kitab nya orang kafir…?

    —————

    Kitab-kitab yang menurut anda berasal dari orang kafir itu telah dibawa oleh nabi-nabi suci yang anda imani. Kekufuran seorang Muslim tidak meniscayakan kesalahan Al-Qur’a. Penyimpangan umat Yahudi dan Nasrani tidak mengkonklusikan bahwa kitab-kitab itu salah seluruhnya, karena Al-Qur’an pun tidak pernah menyebutnya demikian bukan?!

  4. ayo belajar lagi
    coba renungkan islam dah sempurna belom?pasti sudahkan!
    ayo tebak memengnya Rosululloh pernah berpikir seperti tulisan anda?berarti gak ada contonya dong
    ingat Rosululloh itu maksum,teladan,dan yang darinya adalah atas ridho Alloh, dan Rosululloh gak pernah menyembunyiin sedikitpun syariat Allah

    admin:Kelihatannya anda memiliki keberatan dengan artikel-artikel/tulisan-tulisan saya, artinya anda berkedudukan sebagai pihak penggugat dan saya tergugat.

    Kalau kita mau ambil hikmah sirah nubuwwah bahwa pada saat Nabi saw menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, banyak pihak musyrikin Mekah yang menggugat Beliau saw dengan berbagai tuduhan dan kesimpulan yang tak mampu mereka buktikan. Ketika itu Allah Swt menyampaikan firman-Nya sebagaimana dinyatakan QS. 2:111.

    Nah sebagai tergugat, saya pun menyatakan hal serupa, yaitu:

    Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“. (QS. 2:111)

    Ada sebuah kaidah dalam hukum bahwa pihak penggugat harus mengajukan bukti atas gugatannya, dan kalau tidak ada bukti namanya tidak ada klaim. Case closed … :lol:

  5. @aserty
    Jika Bible menyatakan bhw Musa membawa Taurat dan AQ jg menyatakan hal yg sama, apakah artinya?
    Jadi begitu pula dg penjelasan ttg keimaman Ibrahim yg jg jelas2 distate di AQ:

    admin: QS:2:124 Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”[88]. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.

    Jika pertanyaan tsb benar2 dr keinginan utk mencari kebenaran mk setelah diajukannya nash AQ or Hadits mk kt akan taat pd implikasi adanya nash2 tsb. Tapi yg kita temui lbh banyak argumen2/penentangan tsb muncul hanya krn ego kita tdk menerima kebenaran yg bkn datang dr golongan kita. Sehingga sia2 lah dalil2 yg ada.

    Wassalam

  6. Kayaknya Sdr Bicara yang Haq mau nawarin beasiswa tuh (”Ayo belajar lagi”)..udah mas, kirim proposal ke dia buat belajar bahasa ibrani :)

  7. Kita tdk perlu bicarakan apa kata agama lain atau pendapat agama lain. Orang Yahudi dan pecaya pd Nabi Isa, Orang Keristen tdk Percaya pd Nabi Muhammad. Dan utk sdr@trixi
    Bgm Yahudi dan Nasrani mau percaya pd 12 Imam dari Keturunan Nabi Ismail> Nabi Ismail aja mereka nda akui.
    Kita lihat aja dari hukum2 kita. Dan Itupun klu dipercaya:
    1. Nash Alqur’an: Uttiullah wal Rasul wa Ulil Amri minkum
    2. Dan begitu banyak hadis Rasul yg shahih yg menjurus kepada kepimpinan umat berdasarkan IMAM. Tapi banyak yg tdk mau tahu. Mereka menolak walaupun sblmnya mereka menerima dan mengakui. Wasalam

  8. Shalom, saudara2ku memang ttg apa yang kita imani haruslah betul2 kita yakini. tapi terkadang hal tsb menyebabkan kita buta. Aku seorang kristen sangat berterima kasih atas ulasan pak Ustad ttg Imam yg diambil kita PL/Kejadian. Kalau saudara2ku benar2 Islam pasti mengimani juga Taurat, Zabur dan Injil, krn kitab tsb diturunkan oleh ALLAH SWT. jd komentar Aserty dan Madopolo, maaf kurang pas. apalagi menyatakan Kristen itu kafir?! semoga kau dikaruniakan pikiran yang jernih oleh Nya, begitu juga Madopolo : orang Kristen tdk percaya Nabi Muhammad?!
    Hasil survei mana yg mengatakan demikian? kami orang yg mengatakan dirinya Kristen Tauhid tdk mengatakan begitu. dan aku yakin anda belum mengenal Kristen dgn baik. Mudah2an anda diberikan Hidayah drpd Nya. Terima kasih pak Ustad, smg apa yg pak Ustad upayakan ini adalah utk kemaslahatan umat yg percaya akan Dia dan menjadi kita bertambah mengerti satu akan yg lain, sehingga tercapailah damai dibumi ciptaanNYa ini. Amin. GBU

Jumat, 02 Januari 2009

Yahudi-Iran: Berita Imigrasi ke Israel itu Dusta


sekolah Yahudi di ShirazPada 25 Desember 2007, kantor berita Reuters, yang mengutip seorang pejabat imigrasi Israel dan seorang pengurus Jewish Agency yang keduanya anonim, melaporkan 40 orang Yahudi-Iran secara rahasia berimigrasi ke Israel. Sebuah jumlah imigran Yahudi asal Iran yang dipandang terbesar pada tahun-tahun belakangan.

Demi alasan keamanan, tidak ada penjelasan lebih detail mengenai bagaimana mereka meninggalkan Iran dan di mana melakukan transit.

Setiap imigran dilaporkan mendapatkan donasi sebesar 10 ribu dolar AS, yang dikumpulkan oleh sebuah asosiasi Kristen Evangelis dan Yahudi, yang memang kerap mendukung imigrasi banyak Yahudi ke Israel.

Namun, pada 26 Desember 2007, berita tersebut segera dibantah wakil-wakil komunitas Yahudi di Iran. Mereka menyatakan bahwa Yahudi-Iran tidak pernah memutuskan untuk beremigrasi, karena standar hidup layak yang mereka nikmati sebagai kaum minoritas di Iran dan akar-akar budaya mereka sebagai orang Iran.

Dalam sebuah komunike yang dibacakan oleh para pemimpin Yahudi di Iran, Maurice Mo’atamad dan Ciamak Morsathegh, mereka menyatakan bahwa berita mengenai kedatangan sejumlah Yahudi-Iran ke Israel sebagai sebuah dusta belaka.

Sementara itu, Presiden Tehran’s Jewish Community, Mareh-Sadegh, mengatakan, “Propaganda masif yang dilancarkan oleh musuh-musuh bangsa Iran tidak akan pernah memengaruhi Yahudi-Iran karena akar sejarah, budaya, dan kebangsaan kami adalah Iran.”

“Seperti yang pernah kami nyatakan sebelumnya, upaya-upaya kekanak-kanakan untuk membujuk kami dan penyebaran dusta oleh elemen-elemen Zionis-Imperialis anti-Iran tidak akan pernah mengubah hubungan yang kuat antara Yahudi-Iran dengan bangsa Iran dan pemerintahan Republik Islam,” tambahnya.

Seraya menekankan loyalitas mereka kepada Republik Islam, para pemimpin Yahudi tersebut, dalam komunike mereka, menulis, “Kami adalah Yahudi-Iran, yang selalu menjadi orang Iran, dan akan selalu menjadi orang Iran. Kami siap mengorbankan apa pun demi tanah air kami. Terlepas dari propaganda pihak asing, kami akan tetap hidup di tanah kelahiran kami.”

Sejak Revolusi Iran 1979, Yahudi-Iran tetap mempertahankan kesetiaan mereka kepada pemerintahan Islam dan mendukung kebijakan-kebijakan anti-Zionisnya. Komunitas Yahudi di Iran kini mencapai jumlah 30 ribu jiwa, suatu komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah. Mereka terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti Tehran, Isfahan, dan Shiraz.

Pemerintah Republik Islam Iran sejak awal menegaskan kepada dunia internasional bahwa kebijakan anti-Zionisnya harus dibedakan dengan perlakuan terhadap komunitas Yahudi di Iran. Kaum minoritas di Iran, seperti Yahudi dan Kristen, menikmati toleransi dan kebebasan beragama di Iran. Bahkan, mereka mempunyai perwakilan khusus di parlemen Iran.[irm/reuters, ynet]

Kamis, 01 Januari 2009

PERSELISIHAN ANTAR MAHZAB



Sejarah telah menceritakan kefanatikan masing-masing kelompok terhadap madrasah fikih mereka, dan juga berbagai pertengkaran dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, hingga sampai tingkatan dimana sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, juga terlihat peran penguasa didalam hal ini, dapat disaksikan di dalam syair-syair mereka :
” Telah tumbuh Mazhab Nu’man menjadi sebaik-baiknya mazhab
laksana bulan bercahaya sebaik-baik bintang
mazhab-mazhab ahli fikih telah menyusut
mana mungkin gunung-gunung kokoh menenun sarang laba-laba”
Seorang penyair bermazhab Safi’i berkata:
“Perempuan Syafi’i dikalangan ulama adalah laksana bulan purnama diantara bintang-bintang di langit
Katakan pada orang yang membandingkannya
dengan Nu’man karena kebodohan
apakah mungkin cahaya dapat dibandingkan dengan kegelapan”
Seorang penyair bermazhab Maliki mengatakan,
“Jika mereka menyebutkan kitab-kitab ilmu, maka datangkan
apakah dapat sebanding dengan kitab al-Muwaththa karya Malik
Dengan berpegang kepadanya tangan kekuasaan menjadi mendapat petunjuk
barangsiapa yang menyimpang darinya dia akan celaka “
Seorang penyair bermazhab Hambali berkata,
” Aku telah menyelidiki syarat-syarat ulama seluruhnya,
selama aku hidup maupun sesudah mati.
Wasiatku kepada seluruh manusia,
hendaklah mereka bermazhab Hanbali “
Muhammad bin Abdul Baqi, wafat tahun 535 H yang bermazhab Hanbali, mengambarkan keadaan menyembunyikan mazhab yang terjadi kala itu didalam sebuah syairnya,
“Jagalah lidahmu, sedapt mungkin jangan sampai menceritakan yang tiga,
yaitu umur, harta dan mazhab.
Karena atas yang tiga akan dikenakan yang tiga,
yaitu dikafirkan, dihasudi dan dituduh sebagai pembohong”
Demikianlah, setiap orang dari mereka sangat fanatik terhadap imamnya, amat bangga dengan mazhabnya dan mengingkari mazhab-mazhab yang lainnya.
Hingga ada yang mengatakan “Barang siapa yang menjadi Hanafi maka diberi hadiah, dan barangsiapa yang menjadi Sayfi’i akan dihukum” (Ad-din al-Kahlish, jld 3, hal 355)
IMAM ABU HANIFAH, Lahir tahun 80 H , pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Meninggal tahun 150 H.
IMAM MALIK , Lahir tahun 93 H Meninggal tahun 179 H
IMAM SYAFI’I, Lahir tahun 150 H Meninggal tahun 204 H
IMAM AHMAD BIN HANBAL, Lahir 164 H Meninggal tahun 241 H
Masa para Imam 4 mazhab (Hanafi, Malik, Safi’i dan Hanbali) bersamaan dengan para Imam Ahlilbait Nabi.
Imam Hanafi (80 H s/d 150 H) dan Imam Malik (93 H s/d 179 H) sezaman dengan Imam Ja’far as-Sodiq (83 H s/d 148 H) dan Imam Musa al-Kadhim (128 H s/d 183 H).
Imam Syafi’i (150 H s/d 204 H) dan Imam Hanbali (164 H s/d 241 H) sezaman dengan Imam Ali ar-Ridha (148 H s/d 203 H) dan Imam Muhammad al-Jawad (195 H s/d 220 H).
Timbul pertanyaan sbb :
Mengapa posisi kepemimpinan / ke-Imam-an tidak dipundak Imam Ahlilbait ?
Mengapa lebih dikenal serta diutamakan Imam 4 mazhab ketimbang Imam Ahlilbait ?
Mengapa Imam 4 mazhab berdiam diri tidak melakukan pembelaan secara nyata Imam Ahlilbait dibunuh dizamannya ?
Ahmad Amin berkata, ” Penguasa mempunyai peranan yang besar di dalam memenangkan mazhab-mazhab ( Hanafi, Malik, Safi’i dan Hanbali ). Biasanya, jika sebuah pemerintahan yang kuat mendukung sebuah mazhab maka orang-orang akan mengikuti mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus berkuasa sampai lenyapnya pemerintahan yang mendukungnya ” ( Dzahr al-Islam, jld 4, hal 96 )
Apakah masih mungkin ber argumentasi tentang wajibnya mengikuti mazhab yang empat ?
Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas pada mazhab yang empat ?
Jika di sana tidak ada dalil yang menunjukan tentang wajibnya berpegang kepada mereka, apakah itu berarti Allah dan Rasul-Nya telah lalai akan masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang dari mana seharusnya mereka mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka ?
Mahasuci Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan kepada mereka tentang hukum-hukum dan jalan yang akan menyelamatkan mereka.
Allah swt telah menjelaskan melalui lidah Rasulullah saw dan telah menegakkan hujjah akan wajibnya mengikuti ‘ Itrah Rasulullah saw( Ahlilbait ), ” Sesungguhnya Zat yang Mahatahu telah memberitahukan Aku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menemuiku di Telaga