Jumat, 26 September 2008

Siti Musdah Mulia Ajak Umat Manusia Teladani Kaum Nabi Luth as

Anehnya lagi pandangan perempuan bertitel Prof. Dr. ini adalah pengharaman poligami, yang merupakan ketetapan Islam bahwa lelaki dibenarkan untuk berpoligami. Semustinya Musdah dengan pemikirannya yang liberal membebaskan wanita untuk tidak ada dibawah hukum yang dimonopoli lelaki. Ini yang tampaknya lebih liberal, tentu dengan logika liberal dan bukan logika Islam. Tapi dia hanya mengatakan bahwa perkawinan hanya dibatasi satu, yaitu lelaki hanya boleh mengawini satu perempuan. Karena pembatasan ini, Musdah ingin melegalkan homoseks atau sebagai ganti poligami. Yaitu lelaki hanya boleh kawin satu dan selanjutnya melegalkan homo dan lesbian, atau menerima lelaki sebagai suami tapi juga homo atau lesbi. Dan inilah sebenarnya yang mau diperjuangkan Prof. Dr. ini.







Seorang wanita mengatasnamakan perjuang gender dengan motivasi modernisasi telah menghalalkan homoseksual di Indonesia. Prof. Dr. SIti Musdah Mulia atas nama modernitas dan kebebasan menentukan hukum ini bukan hanya untuk Indonesia tapi hukum ini mengatasnamakan hukum Islam secara keseluruhan. Tepatnya, dia ingin mengatakan bahwa semua muslimin yang berpandangan haram terhadap homoseksual adalah muslim yang tidak berfikir panjang (isitlah Prof. Dr. Musdah: narrow minded). Padahal sejak lama semua agama samawi menyatakan bahwa homoseksual merupakan perbuatan amoral, melenceng, dosa dan merupakan tindakan yang didasari penalaran pendek. Itu yang hendak dikatakan oleh seorang Prof. D.r, guru besar instut pendidikan agama Islam di Indonesia. Kerana jasa-jasanya itu dia telah dianugerahi penghargaan,”International Women of Courage”oleh menlu Amerika Condolizza Rice pada Hari Perempuan Dunia di Washington.



Dengan simple tokoh Fatayat Nahdhatul Ulama ini mengatakan: “Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, Al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo di samping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya, juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” Dengan dalil ini, jika dipertimbangkan dengan pola pemikiran Islam maka jadilah permasalahan membesar, yaitu bukan hanya permasalahan kebijakan berijtihad atau tentang benar dan salahnya hasil ijtihad tapi juga menyangkut tentang permasalahan dasar Islam yaitu pondasi Islam tentang kenabian dan misi kenabian.



Bukankah Luth adalah seorang nabi yang menerima wahyu yang tentunya dia memiliki kreteria terbaik dihadapan Allah swt swt, sehingga Allah swt memilih dia sebagai pemegang amanat wahyuNya. Juga berarti nabi Luth akan menjalankan segala sesuatu yang diajarkan Allah swt kepadanya sesuai dengan yang diinginkan Allah swt, diluar dari kepentingan pribadi rasul. Dengan dalil yang diutarakan Prof. DR. Musdah itu, berarti dia telah mendudukkan Luth tidak dalam kapasitas seorang Nabi, atau tegasnya Musdah tidak mengakui Luth sebagai Nabi, apa lagi nabi yang memiliki misi untuk melururskan kaumnya dari perbuatan homo yang tercela itu. Musdah telah menolak kenabian dan juga menolak program Allah swt yang dijalankan nabi Luth, hanya karena hendak memperjuangkan gender dan atas nama gender.



Anehnya lagi pandangan perempuan bertitel Prof. Dr. ini adalah pengharaman poligami, yang merupakan ketetapan Islam bahwa lelaki dibenarkan untuk berpoligami. Semustinya Musdah dengan pemikirannya yang liberal membebaskan wanita untuk tidak ada dibawah hukum yang dimonopoli lelaki. Ini yang tampaknya lebih liberal, tentu dengan logika liberal dan bukan logika Islam. Tapi dia hanya mengatakan bahwa perkawinan hanya dibatasi satu, yaitu lelaki hanya boleh mengawini satu perempuan. Karena pembatasan ini, Musdah ingin melegalkan homoseks atau sebagai ganti poligami. Yaitu lelaki hanya boleh kawin satu dan selanjutnya melegalkan homo dan lesbian, atau menerima lelaki sebagai suami tapi juga homo atau lesbi. Dan inilah sebenarnya yang mau diperjuangkan Prof. Dr. ini.



Hal ini sebenarnya tidak mengherankan kalau hendak melihat fakta yang ada. Diantaranya gerakan Amerika dengan kedok NGO (Non Gobernment Organisation- swadaya masyarakat) The Asia Foundation (TAF). Sebagai fakta yang tidak dapat dilupakan bahwa hubungan Nahdhatul Ulama dengan organisasi berbasis di Amerika ini telah menjadi motor gerakan organisasi Islam besar ini. Begitu juga langkah pendidikan yang ditempuh oleh Prof. Dr. Siti Musdah ini, dia tidak lepas dari bimbingan dari organsiasi gurita ini. TAF telah menjadi motor yang aktif untuk mendorong Musdah menjadi tokoh pendidikan di institusi pemerintah, sehinga jadilah ia pembawa pemikiran Amerika untuk Indonesia.



Keadaan ini tidak lepas dari keadaan Indonesia secara menyeluruh atau muslimin Indonesia secara khususnya. Tanpa disadari bahwa Indonesia telah dikuasai oleh kekuatan besar dunia. Bukan hanya ekonomi tapi juga semua aspek kehidupan yang ada didalamnya. Kalau saja hendak memahami apa yang telah dilakukan oleh TAF dan NGO-NGO bikinan Amerika di Indonesia maka terasa tidak ada satu aspek kehidupan lagi tersisa. Seoleh semuanya telah dikuasainya.



Maka sebenarnya keadaan ini adalah akibat dari berbagai sebab yang telah ada di negara Indonesia sekarang. Tentu sebab yang ada sekarang merupakan satu akibat besar dari strategi adikuasa Amerika dalam mengusai dunia dibawah emperor Zionis dunia. Langkah besar strategis Amerika telah mengakar karena mereka telah merintisnya tidak kurang dari setengah abad, sehingga masyarakat Indonesia tidak akan atau akan terlampau sulit untuk menghapus keburukannya karena semuanya telah dibalut dengan kebaikan lahiriah. Sehingga masyarakat yang dibuat selalu memerlukan ini akan cepat terkesan dengan kebaikan kecil sekalipun tanpa melihat motovasi lebih jauh yang tengah menghantui masa depan mereka.



Jadi kalau melihat kasus Prof. Dr. Musdah Mulia ini, akan terbuka dihadapan semua bangsa Indonesia permasalahan besar yang kompleks, seperti kegelapan kelam yang tidak diketahui ujungnya. Tentu hal ini juga bergantung dengan bangsa Indonesia sendiri, atau lebih tepatnya adalah muslimin yang ada di Indonesia. Karena muslimin merupakan mayoritas penduduk Negara yang dikenal dunia sebagai negara Muslimin (Islam), juga pada sisi lain musliminlah yang perlu fokus terhadap permasalahan yang sedang dihadapi agama, bangsa dan negaranya. Lebih tepat lagi bahwa tangung-jawab apapun yang terjadi didalam negara ini tidak lepas dari tanggung-jawab muslimin secara syar’i dan sebagai penduduk negara yang dicintainya, mereka harus bertanggung-jawab atas semua hal yang terjadi dinegarinya. Apapun yang terjadi sekarang merupakan sekian peringkat dari sekian kegagalan sehingga sampai pada peringkat yang mungkin cukup kuat menerpa kaum agamis di negara Indonesia tercinta.



Kalau dilihat kasus penghalalan homoseksual dan pengharaman poligami oleh Musdah Mulia, maka akan terdapat beberapa unsur penyebab dominan, diantaranya:



1. Jauhnya Rakyat dari Pemerintah (Vice Versa)

Lebih dari tiga setengah dekade, pemerintah berada dibawah pemerintahan diktator militer Suharto, yang dengan sendirinya bukan saja pemerintah terpaksa menjauh dari rakyat, tapi juga rakyat terpaksa menjauh dari pemerintah karena kedua-duanya merasa takut terhadap satu dengan yang lain. Tentunya dengan alasan yang berbeda. Ketakutan itu telah membentuk satu dinding pemisah yang tinggi. Dengan berjalan selama tiga setengah dekade pemerintahan diktator ini menjadikan ketakutan menjadi akut dan membudaya sehingga budaya diktator selalu berkesan dihati rakyat.



Rakyat yang sudah mengalami ketakutan ini tidak dapat berbuat apa-apa, dengan datangnya peralihan pemerintahan yang membawa beban 35 tahun penindasan diktator Suharto. Apapun rakyat harus mengemban derita yang paling berat dibanding rakyat manapun. Karena hakikat dari pemerintah yang semustinya menjadi hamba bagi rakyatnya, telah terbalik sehingga pemerintah adalah penguasa yang menguasai amanat yang diberikan rakyat padanya, seolah rakyat yang memegang amanat pemerintah sehingga semua pengorbanan harus dideritanya, sementara pemerintah merasa telah berjasa dan berhak menerima semua kebaikan dan kekayaan yang ada pada rakyat.



Dengan demikian kehidupan ini membuat anak bangsa Indonesia lupa akan permasalahan diluar dari permasalahan dirinya. Keadaan yang sedang melanda bangsa Indonesia ini, baik politik, ekonomi, budaya dan sosial telah membuat manusia harus memikirkan diri sendiri dalam ruang lingkup yang sangat minim, yaitu keperluan hidup keseharian mereka sendiri. Tentu inipun merupakan akibat dari ketidakpedulian rakyat pada pemerintah dan sebaliknya. Ketidakpedulian inilah penyebab hilangnya kekuatan yang dapat membantu pemerintah dalam menentukan sikap, baik kedalam maupun keluar. Konsekwensi dari ini adalah, berbagai macam hal, mulai dari budaya, pemikiran dll, masuk kedalam negeri tanpa adanya usaha penyaringan dengan baik, sehingga baik buruk hanya akan terlihat ketika sudah dijalani oleh masyarakat. Tanpa disadari bahwa akibat langsung dari semua yang masuk dari luar tanpa ada penyaringan (baik dengan melalui institusi yang resmi atau kekuatan rakyat yang telah dilindungi hukum) berdampak langsung pada masyarakat. Akhirnya rakyat menjadi konsumtif, bukan saja pada keperluan kehidupan tapi jauh dari itu, semua pandangan dan ideologi “baru” yang masukpun dengan mudah menjadi santapan mereka, tanpa memikirkan efek dan dampak atas hal tersebut.



Pemerintah, dalam hal ini, tidak cukup tanggap, bukan saja karena adanya kesenjangan sistem institusi yang cenderung melemah karena faktor manusia yang bermoral lemah, tapi juga adanya pengaruh yang terjadi pada masyarakat, hanya saja pada peringkat yang berbeda dan pada subjek yang berbeda. Tanpa adanya kekuatan rakyat sebagai penyeimbang maka, pemerintah akan bertindak sepihak dalam menentukan sikap (baik kedalam maupun keluar), sehingga keperluan nasional terkadang diabaikan dan hanya terfokus pada manfaat individu tertentu.



Pemerintah meniadi lemah karena rakyat tidak bersama dengan mereka, bagitu juga rakyat menjadi lemah karena pemerintah telah jauh dari mereka. Hubungan yang “tampak” akrab hanya dalam kondisi tertentu, mislanya kampanye sebelum pemilu. Masing-masing partai berusaha mengambil hati rakyat dan selalu mengutarakan slogan untuk rakyat, tapi ternyata wakil rakyat yang konon dari rakyat, dipilih oleh rakyat ternyata tidak ada hubungan emosional apapun dengan rakyat, baik moral maupun material. Ketika mereka sudah terpilih atau lebih tepatnya dipilih rakyat, maka semuanya terlah berubah, yang ada adalah keperluan partai atau lebih buruk dari itu, yaitu keperluan individu. Tentu hal ini tidak lepas dari faktor dominasi sistim pemilu yang menghaburkan banyak duit. Maka, terjadilah perlombaan pengejaran rakyat dengan nilai materi (baca: uang), sehingga ketika mereka sudah ada dalam posisinya (wakil rakyat) mereka merasa sudah waktunya untuk membayar jumlah uang yang dikeluarkan dulu waktu pemilu, maka nampaklah wajah asli tidak bermoral wakil pilihan rakyat itu yang tidak pernah menunjukkan tindakan yang mewakli rakyat, yang ada adalah wakil dari ketamakan.



Begitu selanjutnya, karena pengejaran nilai materi dan pribadi maka apa yang diperlukan rakyat hanya merupakan sarana untuk mengejar tujuan materi pribadi itu. Pengutaraan untuk rakyat tidak lebih dari legatimasi untuk tindakan yang keluar dari keinginan rakyat, atau lebih tepatnya rakyat tidak tahu apa sebenarnya yang dikatakan itu. rakyat masih terus harus bergelut dengan mengejar keperluan dasar untuk hanya dapat melanjutkan kehidupannya, semantara wakilnya telah lebih dari pada apa yang harus didapakannya.



Bukti dari semua ini adalah keadaan sekarang yang dapat dirasakan semua, sekalipun wakil rakyat telah menjadi orang asing dari pemilihnya, tapi mereka sebenarnya tahu apa yang diperlukan rakyat yang memilih mereka dulu, tapi mata hati telah buta sehingga mata tidak lagi dapat melihat, dan hati tidak dapat lagi merasakan, yang tinggal adalah angkara untuk mencapai posisi.



2. Infiltrasi Barat

Infiltrasi Barat masuk secara gradual, dimulai dari pemikiran hingga barang komoditi pasar. Dengan melalui NGO (Swadaya Rakyat) dan berbagai jenis model dengan slogan membantu rakyat, maka telah terjadi perubahan drastis dari grass-root yang menyebabkan mereka kehilangan indentitas dan kepribadian. Berbagai training, rakyat dicekoki berbagai ajaran dan isme yang membawa mereka harus menerima begitu saja tanpa dapat menggunakan akal dengan baik. Atau lebih tepatnya mereka tidak sempat berfikir karena semuanya seperti solusi ampuh bagi permasalahan yang mereka hadapi.

Tanpa di sadari bantuan yang diberikan oleh negara-negara yang mereka sendiri tidak ketahui keberadaanya, menerima ajaran yang dibawa kepadanya. Mereka juga menerima sedikit kebaikan sebagai simbul dari keberhasilan ajaran tersebut. Imbalannya diterimanya ajaran isme dan pola berfikir yang merupakan bayaran yang sangat murah, karena apa yang mereka berikan adalah kepribadian kemanusiaan mereka sendiri. Mungkin mereka tidak diajar secara langsung dengan apa yang dikatakan liberalisme atau sekularisme, tapi nilai-nilai itu dipaksa diterima melalui training motivasi yang dilakukan orang-orang terlatih. Sehingga mereka melihat satu dengan yang lain adalah benar, setiap orang berhak memiliki apa yang diilihanya tanpa harus melihat benar dan salah dan selanjutnya. . .



Dengan menjamurnya yayasan-yayasan, kelompok studi, study center dan berbagai macam institusi atau pusat aktivitas yang menjadi kancah tukar menukar pemikiran dan juga pengumpulan informasi, tanpa disadari semua info dilahap tanpa peniliaan sehingga memudahkan masuknya satu ajaran atau pandangan yang memang seolah-olah diperlukan rakyat. Bagaikan penduduk yang menanti musim hujan dan kemudian datang lah hujan. Tapi mereka tidak tahu bahwa semuanya adalah semu. Yang datang bukan pemberian tanpa pamrih, bukannya untuk melepaskan mereka dari derita tapi kedatangan pemikiran ini tidak lebih adalah untuk melancarkan penjajahan gaya baru, monopoli dan kapitalisme modern. Yang akan terjadi adalah derita panajang dibawah kekuasaan kapitalis adikuasa.



Pada satu sisi mereka ditekan oleh suasana dengan pemerintah, sisi lain mereka terpaksa menerima kemiskinan yang tidak dimengerti, dan satu sisi lain mereka menerima pandangan dan pemikiran yang jauh dari pada nilai kemanusiaan. Maka tidak ada yang dapat dilakukan oleh rakyat atau masyarakat kecuali menyerah dengan suasana. Kalau tidak dikatakan penyerahan total tapi mungkin dapat dikatakan tidak ada sisi reserve lagi bagi mereka.



Kalau keadaan masyarakat yang ada ini istilah yang dipakai adalah floating mass (masyarakat yang mengambang), tentu ini adalah istilah tepat, tapi mungkin makna floating (mengambang) tidak diartikan seperti diatas air, lebih buruk kalau diartikan seperti melayang diantara langit dan bumi, dibumi tidak berpijak dan dilangitpun tidak sampai, lebih buruk lagi bahwa isitlah ini dapat diartikan bahwa masyarakat yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi ada dirinya sendiri, yaitu masyarakat yang mabuk. Mabuk dengan keadaan yang tidak dimengertinya tapi mereka “harus” menerimanya. Masyarakat mabuk dengan semua isme-isme dan pemikiran yang masuk kedalam akal mereka, sehingga mereka berbuat tapi tidak mengerti apa yang diperbuat.



Sebaliknya, Barat atau lebih tepatnya Adikuasa betul-betul menapakkan kakinya di tanah air Indonesia, mereka menguasai semua hal dari hulu hingga ke hilir. Semua aspek kehidupan dikuasainya, sehingga tidak ada satu aspekpun yang tertinggal . Bukan hanya ekonomi dan politik saja, tapi juga pemikiran, budaya hingga agama. Memang yang kerja adalah pribumi, tapi semua maslahat aktivitas yang dilakukan anak bangsa ini tidak lebih untuk keperluan dan masalahat penjajah. Mereka telah diprogram dengan sistim yang diajarkan sebelumnya. Sebagai tanda kemodernan, keberhasilan, keadilan dan sekain banyak lagi slogan propaganda untuk menunjukkan satu nilai keberhasilan, tapi dibalik itu tidak lebih daripada petaka hilangnya semua makna kepemilikan yang ada.



3. Ulama

Semua memahami bahwa Ulama adalah pewaris nabi, maka untuk menjadi ulama mestilah memiliki kreteria sebagai pewaris kenabian, tanpa itu tidak akan patut untuk dikatakan sebagai ulama. Tapi apa yang ada sekarang adalah ulama dalam makna urfi. Keberadaan sebahagian mereka yang mengatasnamakan alim atau ulama telah menjadikan masyarakat kehilangan arah dan pedoman, karena sebenarnya masyarakat telah kehilangan penuntun yang bertangung jawab atas semua aktivitas yang mereka lakukan. Satu kaidah yang selalu dipakai,” kalau ulama sudah fasad maka seluruh alam akan fasad”. Apa yang terjadi di Indonesia adalah ulama yang telah meninggalkan tanggungjawabnya sebagai penuntun umat atau tonggak berdirinya kebenaran.



Tanpa disadari telah muncul kelompok manusia yang menggunakan predikat ini untuk membawa masyarakat untuk kepentingan pribadinya atau untuk kepentingan politik praktisnya. Pada dasarnya ulama adalah politikus yang membawa umat ketempat ridha Allah swt, atau kepada kesempurnaan materi dan spiritual. Tapi apa yang sedang terjadi adalah sebaliknya, mereka menjalankan politik untuk keperluan kesempurnaan mereka sendiri atau partainya, sehingga umat tidak lebih dari pada sarana untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Jadi bukan untuk masyarakat, dan kesempurnaannya. Rakyat atau masyarakat akan terus dibawa dengan ajaran yang dikemas untuk suatu kepentingan pribadi, kelompok, partai, negara atau juga penjajah asing. Jadi sudah tidak asing lagi bahwa adanya ajaran agama (baca Islam) yang diperuntukkan untuk kepentingan negara asing.



Hal seperti ini tidak dapat terhindar, karena sistim yang dibentuk oleh kekuatan asing telah menjadi satu keharusan sehingga hasil dari pada sistim itu akan kembali kepada negara asing. Seperti sitim intitusi pendidikan agama yang ada di Negara Indoneisa. Sistim ini dengan sendirinya akan menjadikan kualitas ulama sebagaimana yang diinginakan oleh Barat (baca: penjajah atau adikuasa). Dengan bantuan seperti TAF, ASINDO atau berbagai ikatan kerja sama antara Indonesia dan negara lain, maka Indonesia harus memberikan pula terbaiknya untuk menjadi putra dengan mengabdi kepada asing. Seperti yang terjadi dengan Pro.f Dr. Musdah Mulia. Dia menjadi seperti sekarang tidak lain karena adanya sistim yang menjadikannya seperti ini, dan juga adanya lahan yang siap untuk menerima pemikirannya, karena sistim yang sudah disiapkan oleh penjajah sehingga orang seperti Musdah Mulia ini dapat diterima.

Jadi permaslahan bukan hanya terletak pada dasar pemikiran yang salah, atau dalil yang tidak rasional atau tidak syar’i atau kelaur dari pandangan yang telah ditetapakan ijma atau pandangan Islam itu sendiri. Tapi dengan mengatasnamakan modern atau liberal maka pandangan ini sudah patut untuk digulirkan dengan sekian banyak pendukungnya yang sudah siap untuk menerima.



Dapat dibayangkan, ketika dia mengharamkan poligami tapi pada waktu yang sama dia membenarkan homoseksual, yaitu disatu sisi dia menutup kemungkian terjadinya perkawinan yang sehat, pada waktu yang sama dia membuka pintu kehancuran semua manusia, ini dengan nama Islam modern dan liberal. Siapapun yang berbeda pendapat akan cepat diklasifikasikan dengan fundamentalis, radikal atau konservatif. Sayangnya ungkapan ini selalu diletakkan sebagai nilai negatif dan kebanyakan ulama menjadi ciut hatinya ketika dikatagorikan kedalam ungkapan itu. Padahal semua nilai modern dan liberal tidak lebih dari pada untuk kemaslahatan Amerika. Juga nilai-nilai yang diberikan Musdah dan apa yang diperjuangkannya, sekalipun mengatasnamakan gender, tapi tidak lebih dari pada untuk kemaslahantan Amerika di negara ini, karena Indonesia apa lagi Islam tidak akan mendapatkan keuntungan apa kecuali umatnya dibawa kearah umat yang pernah dikutuk Allah swt. Musdah dengan pandangannya, tidak lebih merupakan tuntunan bagi pengikutnya untuk kembali kepada umat yang dikutuk, sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth.



Kembali kepada masyarakat Indonesia untuk memilih, sebagaimana sepanjang sejarah kemanusiaan, dimana manusia selalu diletakkan untuk memilih sehingga mereka akan sampai pada kesempurnaan. Kesalahan akan membawa kehancuran, dan keberanan akan membawa mereka pada kemuliaan dan kesempurnaan. Tidak ada jalan lain bagi umat manusia atau umat Islam yang ada di Indonesia untuk memikirkan lagi lebih dalam dan jauh tenang perjalanan hidupnya, generasi mendatangnya, anak cucunya, dan juga umat yang terbentuk dari sekarang.



Masyarakat dan rakyat Indonesia, umat Islam yang ada di negara ini, harus berani mengatakan tidak, sekalipun itu pahit, sekalipun harus menanggung resiko, minimal harus berfikir, dengan mengikut Barat masyarakat tetap menderita dan tidak ada nilainya, tapi dengan melawan, masyarakat dan umat akan menderita tapi memiliki kemuliaan dan harga diri. Dihadapan Allah swt, maka nilainya adalah sorga dan hidup disisiNya dengan rizki yng diberikanNya. Inilah jalan yang benar.

Tidak ada komentar: