Senin, 27 Oktober 2008

Sejarah Rasulullah SAWW (Bagian 1)

Sejarah Rasulullah SAWW (Bagian 1)

Kelahiran Muhammad
Bangsa Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Mutthalib.
Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh.
Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa'diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Yatim Piatu
Dua tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.
Namun keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di kafilah ini.
Abu Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib dan berkata, "Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di negeri Syam menyakitinya."
Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.
Gelar al-Amin
Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat disegani.
Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Menikah Dengan Siti Khadijah AS
Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat, yaitu Fatimah Az-Zahra.

Al-Ghadîr di dalam Alkitab Perjanjian Lama*

Pengantar: dalam artikel ini, Thomas McElwain—seorang filosof, asketis, dan pakar Alkitab—berupaya menelusuri jejak kata al-Ghadir (atau GDUr dalam bahasa Ibraninya) di seluruh Alkitab Perjanjian Lama. Menarik bahwa McElwain menemukan bahwa kata tersebut merujuk kepada figur tertentu di masa depan (dalam konteks periode nabi-nabi Ibrani) yang akan berfungsi sebagai pusat keterjagaan otoritas Tuhan.

Kata ghadîr (dalam bahasa Ibrani: GDUr) di dalam Alkitab muncul sebagai kata Ibrani yang bermakna ‘wall’(dinding) atau ‘fence’(pagar). Dengan makna seperti itu, terjemahan kata tersebut secara umum sudah tepat. Bagaimanapun, kata dinding atau pagar sering digunakan karena paling bermakna dan bahkan secara jelas menjadi cara simbolik—dengan hanya tiga atau empat pengecualian—yang terlihat sangat signifikan dengan peristiwa yang dikenal sebagai al-Ghadir[1] dalam sejarah Islam.

Kemunculan pertama dari kata tersebut terdapat pada kisah Bileam, nabi Persia kuno di dalam Bilangan 22. Nabi tersebut diminta untuk mengutuk hamba-hamba Tuhan. Bukannya menolak, dia malah bertanya kepada Tuhan apakah dia boleh melakukan hal itu ataukah tidak, seraya berharap bahwa Tuhan akan memberinya izin untuk mengambil upah yang ditawarkan kepadanya bagi perbuatan tersebut. Dia telah menentang perintah Tuhan. Inilah subjek yang ditunjukkan Bilangan 22:24[2]:

But the angel of the LORD stood in a path of the vineyards, a wall (ghadîr) being on this side, and a wall (ghadîr) on that side.”

[“Kemudian pergilah Malaikat TUHAN berdiri pada jalan yang sempit di antara kebun-kebun anggur dengan tembok (ghadîr) sebelah-menyebelah.”]

Bileam tidak melihat malaikat itu tetapi keledainya, yang tengah berusaha memutar arah, menabrakan kakinya ke dinding. Sejak kejadian itu, ghadîr (GDUr) menjadi simbol dari dinding tempat Tuhan menyingkapkan jalan kebenaran, dan juga dinding tempat mereka yang sesat akan melukai pergelangan kaki mereka karena menabraknya. Teks lain yang menggunakan kata tersebut dalam makna pagar atau dinding untuk menunjukkan jalan yang benar terdapat di dalam Ayub 19:8[3].

Kata tersebut juga digunakan sebagai rujukan kepada keturunan Simeon yang menghancurkan sisa-sisa orang Amalek atas perintah Tuhan. Hal ini dikatakan di dalam 1 Tawarikh 4:39-40[4]:

And they went to the entrance of Gedor, even unto the east side of the valley, to seek pasture for their flocks.”

And they found fat pasture and good, and the land was wide, and quiet, and peaceable; for they of Ham had dwelt there of old.”

[“39 Oleh sebab itu mereka pindah ke arah Gedor sampai ke sebelah timur lembah untuk mencari padang rumput bagi kambing domba mereka.”]

[“40 Mereka menemui padang rumput yang gemuk dan baik; negeri itu luas, aman dan sentosa; orang-orang yang diam di sana sebelum mereka berasal dari Ham.”]

Para penulis teks Masoretik secara arbitrer telah memvokalisasi kata tersebut menjadi Ghedor tetapi kata tersebut di dalam teks aslinya persis seperti yang terdapat di dalam Bilangan 22. Bagian ini mengisyaratkan adanya simbolisme tahap lanjut bagi kata Ghadîr. Inilah sumber yang tidak diperkirakan mengenai kesempurnaan dan kebahagiaan. Simbolisasi padang rumput bagi hewan ternak telah dikenal lama di dalam teks-teks suci Ibrani dalam hubungannya dengan bimbingan Tuhan, seperti yang terlihat di dalam Mazmur 23 yang terkenal.

Kata Ghadîr tersebut divokalisasikan lagi seperti itu di dalam Ezra 9:9[5].

For we were bondmen; yet our God hath not forsaken us in our bondage, but hath extended mercy unto us in the sight of the kings of Persia, to give us a reviving, to set up the house of our God, and to repair the desolations thereof, and to give us a wall in Judah and in Jerusalem.”

[“Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem.”]

Pendirian tembok di dalam teks tersebut memiliki makna literalnya tetapi ekspresinya, secara khusus di sini, penuh dengan muatan-muatan simbolik. Hal ini diisyaratkan melalui ungkapan to give (‘memberi’). Dinding lahiriah di Yerusalem dibangun melalui tangan manusia tetapi Ghadîr itu sendiri adalah sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan. Apa yang dianugerahkan adalah penegakan kembali pusat keimanan dan otoritas. Harus diperhatikan bahwa ghadîr dalam situasi tersebut telah ditentang oleh orang-orang Samaria. Dari sudut pandang Islam—meskipun dalam beberapa aspek Islam mempunyai banyak kesamaan dengan Samaritanisme ketimbang Yudaisme—ghadîr di sini muncul sebagai hal yang benar dan sah. Orang-orang Samaria tidak mengakui beberapa nabi yang disebutkan al-Quran sedangkan Yahudi pada masa itu mengakui nabi-nabi tersebut. Maka, ghadîr di Yerusalem dan Yehuda inilah yang membedakan antara otoritas yang diakui Tuhan dengan otoritas kaum Samaria yang tidak diakui (Tuhan). Dengan demikian, terdapat suatu keserupaan yang paripurna antara ghadîr-nya Ezra dan ghadîr yang dikenal dalam sejarah Islam. Teks tersebut juga menyebutkan perihal hubungan dengan orang-orang Persia, yang juga disebutkan di dalam Bilangan 22.

Terdapat dua nubuat lainnya yang bernilai signifikan dalam hubungannya dengan kata ghadîr. Yang pertama ialah Yesaya 58:12[6] yang konteksnya berbicara tentang puasa. Ungkapan relevan yang terdapat di dalamnya ialah “repairer of the breach” (‘yang memperbaiki tembok yang tembus’). Kata tersebut diindikasikan sebagai godeer, sebuah participle (kata kerja yang berposisi sebagai ajektiva atau nomina—peny.) sehingga berarti ‘the one who is fencing up the breach’ (orang yang memagari tembok yang tembus’). Mungkin kata tersebut merupakan bentukan dari kata ghadîr yang berarti ‘the fencing up of the breach’ (‘pemagaran tembok yang tembus’). Apa pun maknanya, kata tersebut merujuk kepada seorang figur manusia. Di dalam ayat 5, kata-kata sang nabi ditujukan kepada kaum yang gagal melaksanakan perintah Tuhan secara benar. Kegagalan itu tampak dari perilaku mereka yang tetap zalim meskipun mereka kerap melaksanakan berbagai bentuk (ibadah) puasa. Kata ganti ye (‘kalian’) berubah menjadi bentuk tunggal[7] (thou ‘kamu’) di dalam ayat 7, dan berawal pada ayat inilah seorang figur manusia dari ghadîr tersebut dijelaskan. Kata-kata yang ada sejak ayat ke 7 tersebut, secara khusus, sangat bermakna apabila diterapkan kepada Imam Ali as, yang diangkat (Nabi saw) di al-Ghadîr[8].

Yesaya 58:7: “Is it not to deal thy bread to the hungry, and that thou bring the poor that are cast out to thy house? when thou seest the naked, that thou cover him; and that thou hide not thyself from thine own flesh?

8 Then shall thy light break forth as the morning, and thine health shall spring forth speedily: and thy righteousness shall go before thee; the glory of the LORD shall be thy rereward.

9 Then shalt thou call, and the LORD shall answer; thou shalt cry, and he shall say, Here I am. If thou take away from the midst of thee the yoke, the putting forth of the finger, and speaking vanity;

10 And if thou draw out thy soul to the hungry, and satisfy the afflicted soul; then shall thy light rise in obscurity, and thy darkness be as the noonday:

11 And the LORD shall guide thee continually, and satisfy thy soul in drought, and make fat thy bones: and thou shalt be like a watered garden, and like a spring of water, whose waters fail not.

12 And they that shall be of thee shall build the old waste places: thou shalt raise up the foundations of many generations; and thou shalt be called, The repairer of the breach, The restorer of paths to dwell in.”

[“7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!

8 Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.

9 Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,

10 apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.

11 TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.

12 Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan ‘yang memperbaiki tembok yang tembus’, ‘yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni.”]

Semua ungkapan pada kutipan ayat-ayat di atas dengan sangat baik merepresentasikan karakter dan tindakan-tindakan Imam Ali as. Terdapat banyak riwayat yang mengungkapkan tindakan Imam Ali as memberi makan orang yang kelaparan. Dia juga mengabdikan dirinya untuk ikut mengangkat beban kesulitan manusia dan menghilangkan fitnah serta kepalsuan. Teks tersebut juga menggarisbawahi adanya bimbingan langsung Tuhan yang dianugerahkan kepada sang Imam.

Kemudian, dua bagian di dalam Yehezkiel menyampaikan pesan yang agak berbeda. Keduanya terutama berbicara tentang kegagalan bangsa Israel dalam melaksanakan peran kepemimpinan yang telah dianugerahkan Tuhan untuk menyebarkan monoteisme kepada dunia.

Yehezkiel 13:5[9]: “Ye have not gone up into the gaps, neither made up the hedge for the house of Israel to stand in the battle in the day of the LORD.”

[“Kamu tidak mempertahankan lobang-lobang pada tembokmu dan tidak mendirikan tembok sekeliling rumah Israel, supaya mereka dapat tetap berdiri di dalam peperangan pada hari TUHAN.”]

Ayat ini memunculkan konteks pentingnya proklamasi al-Ghadîr. Baik Yahudi maupun Kristen, keduanya sama-sama gagal dalam menunaikan mandat Tuhan. Oleh karena itu, kegagalan mereka perlu diperbaiki melalui pewahyuan al-Quran, dan penegakan “pagar/tembok” atau ghadîr untuk memelihara tegaknya hukum Tuhan di muka bumi. Teks tersebut juga menyebutkan bahwa bangsa Israel nantinya harus mempertanggungjawabkan kegagalan mereka pada Hari Pengadilan.

Kegagalan yang dimaksud bahkan lebih jelas ditunjukkan di dalam Yehezkiel 22:30[10];

And I sought for a man among them, that should make up the hedge, and stand in the gap before me for the land, that I should not destroy it: but I found none.”

[“Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.”]

Dengan demikian, prinsip Imamah secara khusus mendapatkan keabsahannya bersama Imam Ali as pada peristiwa al-Ghadîr.

Mazmur 62, yang terdiri dari dua belas ayat, merupakan salah satu Mazmur-mazmur yang bernuansa Imamah. Kata ghadîr muncul di dalam ayat 3, salah satu dari rangkaian dua belas yang biasanya mengisyaratkan peristiwa yang dialami Imam Husain as. Keseluruhan Mazmur 62 berkaitan erat dengan topik otoritas Ilahiah. Namun ayat 3 menyentuh persoalan tentang penerimaan atau—dalam hal ini—penolakan terhadap seseorang yang telah ditetapkan Tuhan untuk merepresentasikan otoritas-Nya di muka bumi.

Mazmur 62:3(4)[11]: “How long will ye imagine mischief against a man? ye shall be slain all of you: as a bowing wall shall ye be, and as a tottering fence.”

[“(62-4) Berapa lamakah kamu hendak menyerbu seseorang, hendak meremukkan dia, hai kamu sekalian, seperti terhadap dinding yang miring, terhadap tembok yang hendak roboh?”

Di sini, ghadîr diterjemahkan sebagai ‘fence’(pagar atau tembok dalam terjemahan Alkitab versi LAI). Kata YSh atau ‘a man’ (seseorang) sebagaimana sering digunakan di dalam Mazmur-mazmur memiliki implikasi Imamah, sebagaimana terlihat jelas di dalam Mazmur 1:1[12]. Maknanya ialah bahwa siapa pun yang berniat untuk berbuat jahat terhadap “a man” atau sang imam dan hendak membunuhnya, maka dengan sendirinya ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Di sini, sang imam dianalogikan secara langsung dengan ghadîr atau ‘pagar’tembok’ yang membimbing ke jalan yang benar.

Peringatan yang ditujukan kepada mereka yang melanggar kesepakatan al-Ghadîr diulang kembali di dalam Pengkhotbah 10:8[13]:

He that diggeth a pit shall fall into it; and whoso breaketh an hedge, a serpent shall bite him.”

[“Barangsiapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular.”]

Sang nabi (dalam ayat di atas) berjanji bahwa barangsiapa yang menistakan kesepakatan al-Ghadîr akan disengat ular. Referensi sebelumnya mengenai lubang (pit) tentu saja bermakna ‘merencanakan makar’ terhadap orang lain. Bagaimanapun, keseluruhan ayat tersebut memiliki sebuah nuansa makna eskatologis, baik yang mengisyaratkan hukuman di alam kubur karena kegagalan mengenal sang imam ataupun hukuman pada Hari Kebangkitan.



[1] Al-Ghadir adalah sebuah peristiwa dalam sejarah Islam, terjadi pada 18 Zulhijjah, ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya. Dalam sebuah riwayat yang mutawatir, di antara bagian terpenting dari khotbah itu adalah, “Wahai manusia! Allah adalah Maula-ku (maula: tuan) dan aku adalah Maula orang yang beriman dan aku memiliki hak yang lebih atas hidup mereka. Dan inilah Ali Maula bagi mereka yang menjadikanku Maula. Ya Allah! Cintailah orang yang mencitainya dan bencilah orang yang membencinya.”

[2] VY'yMD ML'aK YHVH BMSh'yVL HKUrMYM GDUr MZH VGDUr MZH. (Bilangan 22:24 dalam transliterasi dari Ibrani)

[3] Ayub 19:8 :'aUrChY GDUr VL'a 'a'yBVUr V'yL NThYBVThY ChShK YShYM. (transliterasi dari Ibrani); “He hath fenced up my way that I cannot pass, and he hath set darkness in my paths.” (KJV); Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. (LAI)

[4] VYLKV LMBV'a GDUr 'yD LMZUrCh HGY'a LBQSh MUr'yH LTSh'aNM. (1 Tawarikh 4:39 dalam transliterasi dari Ibrani)

[5] KY-'yBDYM 'aNChNV VB'yBDThNV L'a 'yZBNV 'aLHYNV VYT-'yLYNV ChSD LPhNY MLKY PhUrS LThTh-LNV MChYH LUrVMM 'aTh-BYTh 'aLHYNV VLH'yMYD 'aTh-ChUrBThYV VLThTh-LNV GDUr BYHVDH VBYUrVShLM. (Ezra 9:9 dalam transliterasi dari Ibrani)

[6] VBNV MMK ChUrBVTh 'yVLM MVSDY DVUr-VDVUr ThQVMM VQUr'a LK GDUr PhUrTSh MShBB NThYBVTh LShBTh. (Yesaya 58:12 dalam transliterasi dari Ibrani)

[7] Dalam bahasa Inggris klasik kata ganti ye dapat diaplikasikan, baik kepada orang kedua tunggal maupun jamak. Sebaliknya, kata ganti thou hanya dapat diaplikasikan kepada ‘orang kedua tunggal’—peny.)

[8] Kata al-Ghadîr di sini merujuk kepada sebuah danau yang berjarak 3 mil dari al-Juhfa. Di tempat inilah Muhammad saw dan para sahabatnya diriwayatkan berhenti dalam perjalanan pulang mereka dari Mekkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini pulalah, Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya.

[9] L'a 'yLYThM BPhUrTShVTh VThGDUrV GDUr 'yL-BYTh YShUr'aL L'yMD BMLChMH BYVM YHVH. (Yehezkiel 13:5 dalam transliterasi dari Ibrani)

[10] V'aBQSh MHM 'aYSh GDUr-GDUr V'yMD BPhUrTSh LPhNY B'yD H'aUrTSh LBLThY ShChThH VL'a MTSh'aThY. (Yehezkiel 22:30 dalam transliterasi dari Ibrani)

[11] 'yD-'aNH ThHVThThV 'yL 'aYSh ThUrTShChV KLKM KQYUr NTVY GDUr HDChVYH. (Mazmur 62:3 dalam transliterasi dari Ibrani)

[12] 'aShUrY-H'aYSh 'aShUr L'a HLK B'yTShTh UrSh'yYM VBDUrK ChT'aYM L'a 'yMD VBMVShB LTShYM L'a YShB. (Mazmur 1:1 dalam transliterasi dari Ibrani); [“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.”] (Mazmur 1:1 dalam terjemahan Alkitab versi LAI)

[13] ChPhUr GVMTSh BV YPhVL VPhUrTSh GDUr YShKNV NChSh. (Pengkhotbah 10:8 dalam transliterasi dari Ibrani)

* Dikutip dari Thomas McElwain, 2006, The London Lectures, Penerbit Citra: Jakarta

Nabi Muslim lahir di Bethlehem*

Kisah tentang Yesus menempati posisi yang istimewa di awal Islam. Tidak ada kebutuhan untuk “benturan peradaban” (clash of civilization).

Pada 632 M, setelah lima tahun peperangan yang hebat, Kota Mekkah di Hijaz, Semenanjung Arabia, secara sukarela membuka gerbang untuk pasukan Muslim. Tidak ada darah ditumpahkan dan tidak ada orang yang dipaksa untuk menjadi Muslim, tetapi Nabi Muhammad saw memerintahkan penghancuran seluruh berhala dan patung Ketuhanan. Terdapat sejumlah lukisan dinding pada dinding-dinding bagian dalam Ka’bah, tempat suci kuno di tengah Mekkah, dan salah satunya, konon diriwayatkan, menggambarkan Maria dan bayi Yesus. Segera, Muhammad saw menutupinya dengan jubahnya dengan penuh hormat, memerintahkan agar semua lukisan yang lain dihilangkan kecuali yang satu itu.

Kisah ini boleh jadi akan mengejutkan orang-orang di Barat, yang kadung memandang Islam sebagai musuh yang tidak dapat didamaikan dengan Kristen sejak Perang Salib. Namun, adalah sangat konstruktif untuk mengingat kisah tersebut, terutama selama Natal, ketika kita dikepung oleh gambar-gambar yang serupa tentang Sang Perawan dan Anak Sucinya. Kisah itu mengingatkan kita bahwa apa yang disebut “benturan peradaban” sama sekali bukan tidak bisa dielakkan. Selama berabad-abad, Muslim mencintai figur Yesus yang dihormati di dalam al-Quran sebagai salah satu nabi terbesar dan, di dalam tahun-tahun perkembangan Islam, menjadi salah satu bagian utama dari identitas Muslim.

Terdapat pelajaran penting di sini, baik bagi orang Kristen maupun Muslim—terutama barangkali pada saat-saat Natal seperti ini. Al-Quran tidak meyakini Yesus sebagai tuhan tetapi ia mempersembahkan lebih banyak ruang bagi kisah tentang konsepsi dan kelahiran sucinya dibandingkan apa yang dikisahkan Perjanjian Baru. Al-Quran menyajikannya dengan kekayaan simbolis mengenai kelahiran Roh Kudus di dalam setiap manusia (QS. 19:17-29; 21:91). Seperti para nabi agung lainnya, Maria menerima Roh Kudus dan mengandung Yesus, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah bukti (ayat): sebuah pesan perdamaian, kelembutan, dan kasih sayang kepada dunia.

Al-Quran dikejutkan oleh klaim-klaim Kristen bahwa Yesus adalah “putra Allah”, dan kemudian dengan bersemangat melukiskan Yesus demi menyangkal ketuhanannya dalam upaya “membersihkan” dirinya dari proyeksi-proyeksi yang tidak layak tersebut. Berkali-kali, al-Quran menekankan bahwa, seperti juga Muhammad sendiri, Yesus adalah seorang manusia biasa yang sempurna dan bahwa orang Kristen sama sekali telah salah dalam memahami teks-teks suci mereka sendiri. Namun, al-Quran juga mengakui bahwa orang-orang Kristen yang paling setia dan terpelajar—terutama adalah para pendeta dan imam—tidak meyakini ketuhanan Yesus; dari semua hamba Tuhan, merekalah yang paling dekat dengan Muslim (QS. 5:85-86).

Harus dikatakan bahwa beberapa orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat sederhana dari apa yang dimaksud dengan penjelmaan. Ketika para penulis Perjanjian Baru, Paulus, Matius, Markus, dan Lukas menyebut Yesus sebagai “Anak Allah”, mereka tidak memaksudkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mereka menggunakan istilah itu dalam makna Ibraninya: di dalam Alkitab Ibrani, sebutan tersebut biasa dianugerahkan kepada manusia biasa yang fana, seperti seorang raja, imam, atau nabi—yang telah diberi tugas khusus oleh Allah dan menikmati keakraban yang tidak biasa dengan-Nya. Di seluruh Injilnya, Lukas justru selaras dengan al-Quran, sebab ia secara konsisten menyebut Yesus sebagai seorang nabi. Bahkan Yohanes, yang memandang Yesus sebagai penjelmaan Firman Allah, membuat suatu pembedaan, sekalipun hanya dalam satu ungkapan yang sangat bagus, antara “Firman” dengan Allah Sendiri—seperti halnya kata-kata kita yang terpisah dari esensi keberadaan kita.

Al-Quran menekankan bahwa semua agama yang benar dan terbimbing berasal dari Allah, dan Muslim diwajibkan untuk mengimani wahyu-wahyu dari setiap kata para utusan Allah: Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri” (QS. 3:84). Dan, Yesus—yang juga disebut Mesiah—Sang Firman dan Roh Kudus—mempunyai status khusus.

Yesus, bagi al-Quran, mempunyai hubungan yang dekat dengan Muhammad, dan telah meramalkan kedatangannya (QS. 61:6), sama seperti para nabi Ibrani yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai telah menubuatkan kedatangan Kristus. Al-Quran menolak bahwa Yesus telah disalibkan dan memandang kenaikannya ke surga sebagai pernyataan keberhasilan dari misi kenabiannya. Dengan cara yang serupa, Muhammad suatu ketika secara mistik naik ke Singgasana Tuhan. Di samping Muhammad, Yesus juga akan memainkan suatu peran yang sentral dalam drama eskatologis pada hari akhir.

Selama tiga abad pertama dari Islam, Muslim telah menjalin hubungan yang dekat dengan orang Kristen di Irak, Syiria, Palestina, dan Mesir, dan mulai mengoleksi ratusan riwayat dan perkataan yang berhubungan dengan Yesus; suatu koleksi yang tidak ada bandingannya di dalam agama non-Kristen manapun. Sebagian ajaran tersebut dengan jelas berasal dari Injil—terutama Khotbah di atas Bukit yang sangat populer tetapi ditampilkan dengan gaya Muslim. Yesus digambarkan melakukan ritual haji, membaca al-Quran, dan melakukan sujud dalam doanya.

Dalam riwayat-riwayat yang lain, Yesus mengartikulasikan secara terperinci apa yang menjadi perhatian Muslim. Dia telah menjadi salah satu teladan agung bagi para sufi Muslim, yang mengajarkan hidup sederhana, kerendahan hati, dan kesabaran. Kadang-kadang Yesus memihak satu kelompok dalam sebuah perselisihan teologis atau politis: membariskan dirinya bersama mereka yang mendukung kehendak bebas di dalam perdebatan mengenai takdir; memuji Muslim yang berdamai dengan prinsip politiknya (“Ketika para raja memberikan kebijaksanaan kepada kalian, maka sebaiknya kalian tinggalkan dunia untuk mereka”); atau mengecam para ulama yang melacurkan ajarannya demi keuntungan politis (“Janganlah kamu hidup dari Kitab Tuhan”)[1].

Yesus telah diinternalisasi oleh Muslim sebagai teladan dan inspirasi dalam pencarian spiritual mereka. Muslim Syiah merasa bahwa ada suatu koneksi kuat antara Yesus dengan imam-imam mereka yang menerima ilham, memiliki kelahiran-kelahiran yang ajaib, dan mewarisi pengetahuan propetik dari ibu-ibu mereka. Para Sufi terutama mengabdikan diri mereka kepada Yesus dan menyebutnya sebagai “nabi cinta”. Mistikus ternama Abad ke-12 M, Ibn al-Arabi, menyebut Yesus sebagai “penutup orang-orang kudus”—secara sengaja disandingkan dengan Muhammad sebagai “penutup para nabi”.

Cinta Muslim kepada Yesus adalah contoh yang luar biasa dari cara bagaimana sebuah tradisi dapat diperkaya oleh tradisi yang lain. Ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus membayar pujian tersebut. Sementara Muslim mengoleksi riwayat-riwayat mereka mengenai Yesus, sarjana-sarjana Kristen di Eropa justru menghujat Muhammad sebagai seorang pemuja seks dan penipu ulung, yang sangat menyukai kekerasan. Namun, pada hari ini, baik Muslim maupun orang Kristen sama bersalahnya atas sikap fanatik semacam itu dan seringkali juga lebih suka untuk melihat hanya bagian terburuk dari satu sama lain.

Cinta Muslim kepada Yesus menunjukkan bahwa hal itu tidak harus selalu menjadi situasinya. Pada masa lalu, sebelum terjadinya kekacauan politik dari modernitas, Islam selalu mampu melakukan koreksi diri. Tahun ini, pada hari kelahiran Jesus, mereka mungkin dapat bertanya kepada diri mereka sendiri bagaimana mereka dapat menghidupkan kembali tradisi panjang mereka berkaitan dengan pluralisme dan penghargaan kepada agama-agama yang lain. Ketika merenungi empati Muslim terhadap iman mereka, orang-orang Kristen sebaiknya melihat kembali masa lampau mereka sendiri dan mempertimbangkan apa yang mungkin dapat mereka lakukan untuk membalas rasa hormat ini.

* Artikel ini dikutip dari harian Inggris the Guardian edisi 23 Desember 2006.

* Karen Armstrong adalah penulis buku Muhammad: a Prophet for Our Time.



[1] Dua riwayat tersebut dan riwayat-riwayat yang bermakna serupa dapat ditemukan dalam Tarif Khalidi, The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature, Harvard University Press, Cambridge, 2001.

Teladan Pejuang yang Sabar

Para imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah Swt untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul dalam mencapai derajat kemanusiaan dan kemuliaan akhlak.

Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan (Imam Ali) Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga orang itu menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintah. Dan barangsiapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau pada masanya, maka janganlah engkau percaya.”

Hari Lahir

Imam Ali Ridha as lahir pada 11 Dzulqaidah 148 H di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Kazhim as, dan ibunya seorang perempuan mukmin nan saleh bernama Najmah. Imam Ali Ridha menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.

Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ridha.

Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazhim), tiba-tiba datang Ali Ridha as. Lalu beliau (Imam Musa) berkata, ‘Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.”

Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku (Imam Musa Kazhim) beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.”

Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya, maka Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya Ali Ridha sambil berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.”

Pada masa itu, situasi amat mengkhawatirkan sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya, Ali Ridha as.

Budi Pekerti yang Agung

Seorang laki-laki menyertai Imam Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka (tuan dan budak) dalam satu jamuan makan?”

“Sesungguhnya Allah Swt Esa, dan manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan,” demikian jawab Imam as.

Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ridha)!”

Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”

Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.”

Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu sebab orang yang lebih baik daripadaku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Zat yang menorehkan ayat ini, Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.”

Pernah suatu saat, Imam Ali Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh besar nikmat Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kauberikan kepadaku atas namamu karena aku tidak berhak menerima infak.”

Dengan nada lembut, Imam Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”

Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.”

Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu, Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?”

Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan korespondensi dengan Imam Ali Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan Ali Ridha sebagai imam.

Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Imam Ridha as memintaku datang menjumpainya dengan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah diskusi. Hingga tiba waktu ‘Isya, kami melaksanakan salat. Seusai salat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.

Aku menjawab, “Tidak, demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.”

Beliau berkata kepadaku, “Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.”

Sementara Imam turun, aku berkata kepada diriku sendiri, “Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang tidak kutemukan dari orang lain. Sungguh dulu aku telah tertipu oleh setan.”

Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku, beliau berkata, “Suatu hari, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menengok Sa’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Wahai Sa’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.”

Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam pikiran Bizanthi hingga menasehatinya dan mengingatkannya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan “Sang Api”.

Khalifah Makmun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.

Makmun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as tidak setuju dengan perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya, Imam as berkata, “Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasulullah saw dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, tetapi Hasan dan Husain.

“Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah Swt. Apakah engkau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan daripada ayahmu, Musa bin Ja’far as!”

Zaid berkata, “Bukankah aku saudaramu?”

Imam menjawab, “Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau Maha Pengasih.’”

“Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’”

“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat tulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”

Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan, ‘Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, ‘Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’”

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan, masuklah waktu zuhur. Imam as meminta air untuk berwudhu tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke kubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami, Ahlulbait.”

Kemudian, beliau melakukan salat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.

Di Moro

Sampailah Imam Ali Ridha as di Moro. Makmun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, Imam menolaknya.

Imam Ali Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Makmun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta.

Makmun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Makmun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Makmun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Makmun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as).

Lebih daripada itu, Makmun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Jawad as.

Shalat Id

Imam Ali Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Makmun memerintahkan Imam Ridha as untuk menjadi imam Salat Id.

Imam keberatan. Namun, Makmun bersikeras atas keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik Imam.

Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Salat Id sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Makmun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar.

Matahari terbit menampakkan garis emas berkilauan dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ridha as mandi dan memakai pakaian serta serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Id yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh daripada makna takbir. Namun, kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang pernah dibawa oleh Nabi saw, dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ridha as.

Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Makmun. Dia malah khawatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khotbah.

Makmun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ali Ridha as, yang masih dalam perjalanan. Kepada Imam, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”

Imam as pun kembali sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Makmun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Makmun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Makmun, di antaranya adalah:

  1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah (Makmun pada saat itu tengah berkonflik dengan anggota keluarga Abbasiah lainnya) dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan.
  2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena menginginkan kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
  3. Makmun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang kemudian terjadi terhadap Imam Ali Ridha as.

Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Makmun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan. Ini terlihat dari sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Salat Id, dan syarat beliau atas Makmun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Da’bal al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serba kurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal al-Khuza’i.

Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ridha. Abu Shlat al-Harawi meriwayatkan, “Da’bal menjumpai Imam Ali Ridha as di Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’”

Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilakannya untuk menyenandungkan syair itu. Di antara bait-bait syair Da’bal ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci

kini telah sunyi dari pengunjung

Rumah wahyu tidak lagi

dituruni kabar-kabar langit

Pusara di Kufah dan

yang lainnya di Thaibah (Baqi’),

Pula yang di Fakh (Karbala)

senantiasa tercurah salawatku

Dan pusara di Baghdad,

milik jiwa yang suci

Tercurahkan rahmat Sang Pengasih

dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya,

Pusara di Thusi betapa besar

Dera nestapa yang menimpanya

Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”

“Itulah pusaraku wahai Da’bal!” jawab Imam as.

Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis. Air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, Da’bal merasa berat menerimanya dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.

Da’bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.

Di tangan mereka harta rampasan dari emas

Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”

“Ini puisi Da’bal,” jawab perampok itu.
“Akulah Da’bal,” kata Da’bal memperkenalkan diri.

Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat serta meminta maaf kepada mereka.

Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu dinar, namun Da’bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk tabaruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da’bal pun merelakannya.

Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Namun, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan.”

Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat karamah Imam Ali Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Makmun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ridha as dengan kekuasaan, sementara Imam tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Makmun pun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh Imam.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangan Makmun. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Makmun, karena khawatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Makmun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di minuman.

Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ridha as syahid pada 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).

Sementara itu, Makmun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Semoga wiladah agung Imam Ali bin Musa Ridha pada menjadi hari bahagia buat kita semua.

IMAM JA‘FAR SHADIQ AS: GURU PARA IMAM MAZHAB

Riwayat Singkat

Nama : Ja‘far
Gelar : Ash-Shadiq
Panggilan : Abu Abdillah
Ayah : Muhammad bin Ali Al-Baqir as
Ibu : Ummu Farwah
Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awal 80 H
Kesyahidan : 25 Syawal 148 H
Makam : Pemakaman Baqi‘, Madinah


Hari Lahir

Imam Ja‘far Shadiq as lahir pada 17 Rabiul Awal 80 Hijriah di Madinah al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Baqir as dan ibunya bernama Ummu Farwah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, “Ibundaku adalah wanita beriman, bertakwa, dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah Swt mencintai orang yang senantiasa berbuat baik.”

Imam Ja‘far Shadiq as hidup sezaman dengan datuknya, Imam Ali Zainal Abidin as selama 15 tahun dan dengan ayahnya, Imam Muhammad Baqir as selama 34 tahun.

Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan Ath-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.

Beliau menyaksikan kezaliman Bani Umayah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlulbait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlulbait as.

Imam Ja‘far as hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayah selama kurang-lebih 40 tahun dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah selama sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak, dan akidah di tengah masyarakat.

Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja‘far as untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlulbait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.

Akhlak Luhur

Zaid bin Tsa’ari al-Ma’ruf berkata, “Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlulbait Nabi saw di tengah-tengah kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kita ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja‘far bin Muhammad yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapat petunjuk siapa yang menyimpang darinya.”

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah, dan kewarakan Ja‘far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku.”

Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar kepada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, “Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa.”

Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada suatu hari aku bersama Abu Abdillah (Imam Ja‘far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.

“Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam! Aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud.’ Beliau membalas, “Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku. Maka, aku segera melakukan sujud syukur.’”

Pernah juga sahabat itu berkata, “Aku melihat Ja‘far bin Muhammad as sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai Imam! Berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini.’
“Beliau berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.’”

Suatu hari Imam Ja‘far as meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya, “Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang.”

Imam Ja‘far as pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya, Mu’tab, “Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya.”

Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.

Imam Ja‘far dan Sufyan Tsauri

Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.”
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.”

Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya. “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.”

Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.”

Imam Ja‘far dan Perniagaan

Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya seribu dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya, “Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.”

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi seribu dinar.

Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya.”
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap dinar modal mereka.

Imam as dengan nada heran berkata, “Mahasuci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian?”

Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah hartaku dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.”

Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal.”

Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”

Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”
Berbakti kepada Ibu

Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?”

Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.”

Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?”

Pemuda itu menjawab, “Tidak.”

Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya.”

Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”

Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”

“Apakah dia seorang nabi?” tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.”
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.”

Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu.

Imam Ja‘far dan Penimbun Barang

Imam Ja‘far Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, dia pun akan terlaknat.”

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak.”

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alla bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.”

Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu'tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, “Kita punya cukup persediaan untuk beberapa bulan.”

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu'tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya.

Basyar Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya. Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’

Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’

Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.

Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping dinar.

Universitas Islam

Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlulbait as dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.

Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlulbait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.

Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Baqir as dan putranya, Imam Ja‘far Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati masyarakat.

Pada zaman Imam Ja‘far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.

Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari empat ribu sarjana di berbagai bidang ilmu agama, matematika, kimia, hingga kedokteran.

Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang ahlil kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan, “Tuanku Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq as telah mengatakan kepadaku ….”

Imam Ja‘far as sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan.

Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat.

Pernah suatu hari, empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah.

Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah al-Quran dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari al-Quran untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.

Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, “Saya telah menghabiskan waktuku selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Maka tatkala mereka putus asa [terhadap hukuman Nabi Yusuf], mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik .’ (QS. Yusuf:80) Sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku.”
Pemikir kedua menyahut, “Ya, aku juga memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.’ (QS. Al-Hajj:73). Sungguh Aku tidak sanggup menciptakan seindah ayat ini.”

Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, “Aku sudah memikirkan ayat ini, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….’ (QS. Al-Anbiya’:22) Sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya.”

Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, “Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, ‘Dikatakan, 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah, dan air pun disurutkan, perintah pun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi [dekat Armenia daerah Mesopatomia], dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim.’” (QS. Hud:44)

Ketika itu, Imam Ja‘far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Isra’:88)

Mazhab Ja‘fariyah

Mazhab Ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja‘far as, dan pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi‘ah dengan mazhab Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq as.

Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja‘fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di Padang Karbala pada 10 Muharam).

Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlulbait as). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.

Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlulbait as demi keselamatan hidupnya.

Imam Ja‘far dan Manshur Dawaniqi

Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi.

Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlulbait Muhammad.”

Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayah.

Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.

Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja‘far as.

Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?”

“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as.
Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasiatiku?”

Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasihatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu.”

Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana.

Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.”

Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu, orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini.”

Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.

Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?”
“Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as.

Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.
Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘, Madinah Munawwarah.[]

Mutiara Hadis Imam Ja‘far as

• “Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.”

• “Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.”

• “Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Salah seorang bertanya kepada Imam, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majelis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”

• Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja‘far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur.” Imam as membalasnya, “Hakikat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliaannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai Bani Adam.”

• “Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit.”

• “Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka.”

• “Tiga perkara dapat mengeruhkan kehidupan: penguasa zalim, tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan, dan kemakmuran.”

Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Ahlulbait as

Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Ahlulbait as

Dr. Mehdi Golshani

(Guru Besar Universitas Teheran, Iran)


Dalam sebuah hadits yang terkenal, Nabi suci saw bersabda, ?Menuntut ilmu diwajibkan atas setiap Muslim.? Apa jenis ilmu pengetahuan yang diinginkan dalam hadits ini? Asy-Syahid Prof. Murtadha Muthahhari menyebutkan, ?Segala bidang ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat Islam mesti dianggap sebagai bagian dari ilmu agama.?


Spektrum ilmu pengetahuan yang direkomendasikan Islam sangatlah luas. Merujuk pada ayat Al-Quran, ?(Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.? (QS. 96:5). Hal ini mengingatkan kita terhadap fakta bahwa sumber semua ilmu pengetahuan adalah Allah. Dalam Al-Quran, Nabi Sulaiman as berbicara tentang fakta bahwa dia telah diajarkan bahasa burung-burung dan dia sadar hal ini sebagai sebuah anugerah dari Allah. ?Hai manusia, kami telah diberi peringatan tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu, sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.? (QS. 27:16).

Allah berfirman, bahwa Dia mengajarkan Nabi Daud as ilmu pengetahuan tentang pembuatan baju besi untuk melindungi rakyatnya dalam peperangan. ?Dan telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur.? (QS. 21:80).

Dalam tradisi Islam, kita juga bisa melihat riwayat-riwayat tentang penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Nabi saw bersabda, ?Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina? dan dari Imam Ali as kita mendengar: ?Ilmu pengetahuan merupakan milik orang beriman yang hilang. Jadi, temukan itu meski jika ia berada dalam genggaman orang-orang kafir.?

Kemudian, ada sebuah hadits panjang yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as, ketika memberikan kriteria bahwa jenis ilmu pengetahuan yang diperbolehkan adalah segala macam ilmu dan teknik yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sah masyarakat atau yang bermanfaat bagi penghambaan kepada Allah dan untuk melanjutkan kehidupan mereka: ?Segala macam ilmu dan teknologi yang memenuhi kebutuhan manusia atau yang bermanfaat bagi pengabdian kepada Allah dan menolong mereka untuk melanjutkan hidup mereka dan yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari mereka, adalah diperbolehkan oleh agama untuk menguasai dan mempelajarinya. Sebagai contoh, mengerjakan akuntansi, berdagang, bekerja pada pertambangan emas, membuat karet, memecah batu, merajut, menjahit, melukis, menggambar, dan membuat perkakas yang dibutuhkan manusia. Akan tetapi, apabila ilmu pengetahuan dan keterampilan tersebut digunakan untuk maksud kejahatan dan dosa, meski sebagai perbuatan-perbuatan yang benar dan terhormat seperti menulis yang mungkin disalahgunakan untuk memperkuat pemerintahan yang zhalim, maka hal itu tidak diperbolehkan; demikian juga membuat pisau, pedang, tombak, busur, dan anak panah yang dapat digunakan (memperkuat pemerintahan yang zhalim ?red), baik dalam maksud baik ataupun buruk. Mengajar dan belajar seperti perdagangan atau memperoleh upah bagi usahanya, jika dapat dibuktikan sebagai bagian dari penghambaan kepada Allah, maka hal itu diizinkan; tetapi penggunaannya dalam cara-cara kejahatan atau kekerasan adalah dilarang; dalam kasus yang sama adalah tidak berdosa bagi seorang manusia untuk mengajar atau belajar perdagangan, jika kegunaannya lebih besar daripada bahaya yang disebabkan oleh penyalahgunaannya, dan kelanjutan kehidupan sosial bergantung kepadanya, penyalahgunaannya bagaimanapun adalah perbuatan dosa. Hal ini karena Allah melarang kita untuk mengejar sesuatu yang secara keseluruhan merusak dan tidak mempunyai hasil yang bermanfaat.?

Ayat Quran dan hadits-hadits Islam yang telah disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa dalam Islam penguasaan ilmu pengetahuan tidak dibatasi hanya dalam hal mempelajari ilmu-ilmu agama saja. Karena, misalnya, Cina bukanlah tempat yang layak untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam. Cina sangat dikenal karena industrinya.

Argumen lain tentang penghargaan yang luas terhadap ilmu dalam pandangan Islam adalah sebuah interpretasi, bahwa sarjana-sarjana Muslim dari peradaban Islam yang agung telah memiliki pandangan Islam tentang ilmu-ilmu. Sarjana-sarjana tersebut menyatukan warisan Islam dari berbagai bangsa dan menambahkannya ke dalamnya. Prof. Muthahhari mempunyai observasi yang sangat baik tentang persoalan ini. Dia menyebutkan bahwa para Imam suci as telah melontarkan kritik terhadap Dinasti Abbasiah karena beberapa hal, tetapi para Imam as tidak pernah melakukan kritik terhadap mereka karena usaha mereka untuk menyatukan beragam ilmu dari banyak bangsa. Para sarjana tersebut telah memikirkan bermacam ilmu sebagai cara untk memahami tanda-tanda Tuhan pada alam semesta, dan mereka diinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah sebagai perintis-perintis dalam bidang ini.

Kemudian, ada pertanyaan, apa jenis ilmu pengetahuan yang diberikan prioritas kepadanya? Di sini, baik dalam hadits-hadits dari Nabi saw maupun dari Ahlulbait-nya as, dinyatakan bahwa prioritas diberikan kepada apa yang bermanfaat. Nabi saw bersabda, ?Ilmu pengetahuan terbaik adalah mereka yang membawa manfaat.? Dan, dari Imam Ali as kita menemukan. ?Tidak ada kebaikan dalam ilmu pengetahuan yang tidak bermanfaat.?

Akan tetapi, kemudian pertanyaan muncul tentang kriteria bagi bidang ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kita dapat berargumentasi dari ayat Al-Quran dan Sunnah bahwa jenis ilmu pengetahuan yang bermanfaat adalah jenis yang mempunyai satu atau lebih karakteristik berikut: (1) Meningkatkan pengetahuan seseorang tentang Allah. (2) Mengamankan kesejahteraan fisik dari individu-individu dalam masyarakat Islam. (3) Menyelamatkan integritas masyarakat Islam dan menyiapkan landasan bagi perwujudan ayat Al-Quran berikut: ?... dan kalimat Allah yang paling tinggi...? (QS. 9:40)

Peran Ilmu dalam Memahami Allah

Sangat banyak ayat dalam Al-Quran yang merujuk pada beragam aspek dari dunia dan memerintahkan manusia untuk mempelajari beragam fenomena dari alam dan merefleksikannya dalam diri mereka. Sebagai contoh pada ayat, ?Katakanlah, Perhatikan apa yang ada di langit dan bumi...? (QS. 10:101). ?Katakanlah, berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya...? (QS. 29:20).

Demikian pula, kita diperintahkan untuk mempelajari sejarah generasi terdahulu, untuk menjadi sensitif terhadap contoh yang dikemukakan Allah di alam ini. ?Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (utusan-utusan Allah).? (QS. 3:137)

Peran Ilmu dalam Pengembangan Umat

Adalah program Nabi saw untuk memantapkan masyarakat tauhid dalam cara yang diatur oleh firman-firman Allah, dan orang-orang kafir tidak memiliki kesempatan untuk menghancurkan orang-orang beriman, ?Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.? (QS. 4:141). Nabi saw bersabda, ?Islam adalah tinggi dan tidak ada yang mampu melebihi ketinggiannya.? Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk melengkapi diri mereka dalam menghadapi tantangan-tantangan dari orang-orang kafir. ?Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuh kamu.? (QS. 8:60)

Ayatullah Ruhullah Khomeini mempunyai penilaian yang jelas tentang masalah ini, ?Apabila bahaya dominasi politik dan ekonomi dari musuh mencapai tingkat yang mungkin akan meletakkan masyarakat Islam di bawah penindasan politik dan ekonomi mereka yang menyebabkan penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan Muslim dan melemahkan mereka, adalah kewajiban bagi semua umat Islam untuk memepertahankan kepentingan mereka dengan cara-cara dan perangkat-perangkat yang sama dengan yang musuh tersebut gunakan.?

Tidak diragukan lagi, pada masa kita, ilmu dan teknologi memainkan peran krusial dalam mengamankan independensi dan kejayaan dari setiap masyarakat. Oleh sebab itu, umat Islam diharapkan untuk menjadi perintis-perintis dalam bidang ini, menyiapkan kepemimpinan dunia, sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita pada saat era emas peradaban Islam. Kita mempunyai perintah yang jelas dari Imam Shadiq as, ?Seorang ilmuwan yang sensitif terhadap masanya tidak akan ditundukkan oleh masalah-masalah yang tidak terduga.?

Dimensi Keilmuan dari Al-Quran dan Sunnah

Apakah kita didorong untuk belajar dari ?ayat-ayat ilmiah? dalam Al-Quran yang merujuk kepada fenomena alam? Pesan dari ayat yang disebut ?ayat-ayat ilmiah? tersebut adalah bahwa kita mesti melihat tanda-tanda Allah di alam semesta dan hal ini akan menuntun kita untuk mengapresiasi kebesaran Allah. Lebih jauh, dengan mengenal hukum-hukum alam, kita dapat mengambil manfaat darinya secara konstruktif bagi kesejahteraan umat manusia. Akan tetapi, kita dapat belajar dari Al-Quran sesuatu yang ilmu-ilmu kemanusiaan dan fisik tidak dapat memberi tahu kita, seperti pandangan dunia yang inklusif dan epistemologi ?sebuah dasar metafisika yang solid bagi semua ilmu.

Untuk menjelaskan permasalahan ini, jika kita perhatikan semua ilmu fisik, ternyata manusia telah mengambil suatu karakter sekuler dalam beberapa abad terakhir. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pandangan dunia materialistik dan sikap positivistik telah menjadi umum dalam lingkaran akademik, hanya materi yang memiliki realitas dan hanya data empirik yang berarti dan berharga untuk diperhatikan. Seluruh ilmu-ilmu fisik dan kemnusiaan telah berada di bawah mantra materialisme dan positivisme. meski Muslim telah secara dalam terlibat dalam ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Islam, mereka bisa jatuh ke dalam perangkap ini. Hal ini menjadi sangat penting untuk dielaborasi.

Merujuk kepada Al-Quran, indera eksternal kita adalah penting dalam memahami alam semesta. ?Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati...? (QS. 16:78). Jadi, dalam pandangan Al-Quran indera adalah alat-alat penting dalam memperoleh pengetahuan tentang dunia luar, tetapi data empirik saja tidak cukup untuk memperoleh pengetahuan tentang alam karena indera hanya memberi kita rantai-rantai dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang terisolasi. Adalah intelek kita yang menemukan hubungan mereka. Untuk membuktikan klaim ini, kita merujuk pada Al-Quran dan tradisi Islam:

(i) Hal ini berkali-kali disebutkan dalam Al-Quran bahwa pengalaman sensorik harus dilengkapi oleh sebuah latihan intelektual. Dengan kata lain, ia tidak akan membawa kepada kesimpulan konkrit. Al-Quran berkata, ?Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya).? (QS. 16:12).

Ada manusia yang memilki mata, telinga, dan sebagainya, tetapi indera tersebut tidak berfungsi secara nyata bagi mereka karena tidak merefleksikan pengalaman sensorik mereka. ?Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar.? (QS. 7:179). Kita memiliki tradisi yang mencerahkan dari Imam Shadiq as, ?Ketika melihat sebuah batu melayang di udara, kamu mengetahui bahwa seseorang telah melemparnya, pengetahuan ini tidak datang kepadamu lewat matamu, tetapi melalui saluran intelek, karena intelek-lah yang membuktikan bahwa batu tadi tidak dapat melayang di udara dengan sendirinya.?

(ii) Dalam Al-Quran, Allah menantang argumen mereka yang menganggap bahwa data berbasis indera sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Al-Quran berkata, ?Dan ingatlah ketika kamu berkata, ?Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikan.? (QS. 2:55).

Lebih jauh, telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa kita tidak dapat mencerna banyak realitas dunia lewat indera eksternal. ?Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang kamu tidak lihat.? (QS. 69:38-39). ?Maha suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui.? (QS. 36:36). ?Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi...? (QS. 11:123).

Singkatnya, observasi dan eksperimen kita tidak mampu menjadi sumber bagi banyak pengetahuan kecuali meraka dihubungkan dengan aktivitas intelektual kita. Lebih lanjut, tidak semua informasi kita tentang dunia ini berakar dalam pengalaman inderawi. Akhirnya, banyak realitas dalam dunia-Nya yang tidak mampu kita pahami atau kita tidak memilki akses kepadanya. Fakta-fakta tersebut memberi kita pandangan dunia yang lebih luas daripada apa yang ilmu sekuler modern persepsikan. Hal ini membimbing kita kepada ?ilmu Islam? ?jenis ilmu yang dibingkai dengan sebuah pandangan dunia Islam dan yang memberikan interpretasi yang lebih komprehensif tentang fenomena alam dan orientasi yang benar terhadap aplikasi ilmu dan teknologi.?

(iii) Dalam pandangan dunia Islam, perkembangan materi bukanlah sebuah akhir dalam dirinya sendiri. Lebih tepatnya, mereka mesti berada dalam suatu pelayanan tujuan-tujuan spiritual dan bagi perwujudan ide-ide Islam. Al-Quran berkata: ?Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.? (QS. 18:7).

Sebagai kesimpulan, berikut beberapa rekomendasi:

(1) Pada saat ini, dunia Islam tidak berada dalam kondisi yang baik dari berbagai sudut pandang, dan dia bersandar kepada Barat dengan segala penghormatan. Untuk membayar kemunduran ini, kita mesti mengejar dan bahkan mendahului Barat dalam wilayah ilmu. Hal ini membutuhkan sebuah komitmen serius dari pemerintahan-pemerintahan dan sarjana-sarjana Muslim. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, integritas kita dan budaya Islam akan berada dalam ancaman yang serius.

(2) Mengamati jalan yang telah dilalui barat, kita mesti sadar bahwa untuk menjaga diri dari produk-produk sains Barat yang destruktif, harus membingkai ilmu kita dengan pandangan dunia Islam. Hal ini akan menjaminkan kita kebahagiaan di dunia ini dan kesuksesan di hari kemudian, dan akan menolong kita untuk mewujudkan ayat berikut semampu mungkin. ?Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia, menyeru kepada yang ma?ruf, dan mencegah kemungkaran , dan beriman kepda Allah.? (QS. 3:110).

Sumber: Syi?ar Edisi Sya?ban 1423 H
Penerjemah: SK Utari