Dalam sebuah acara di Lakpesdam-NU, Hasyim Muzadi bercerita bahwa dirinya dikomplain oleh banyak kalangan agamawan di luar negeri tentang perkembangan kehidupan keberagamaan di Indonesia yang merosot belakangan ini. Ada tokoh Kristen yang bertanya, apakah arti sebenarnya dari slogan-slogan teriakan ?Allahu Akbar? yang dikumandangkan gegap gempita oleh segerombolan orang berpakaian khas Muslim ketika mereka menyerang markas besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor. Kagetlah hadirin setelah dijelaskan kalimat itu berarti ?Tuhan Mahabesar? karena mereka sebelumnya mengira artinya adalah ?Mampus lu!?. Maka timbul pertanyaan dalam benak hadirin, mengapa aksi perusakan diiringi dengan nama Tuhan yang Mahasuci? Bagaimana bisa?
Di sebuah masjid kampus paling terkenal di kota Bandung pada suatu bulan Ramadhan. Jamaah shalat tarawih yang awalnya membludak drastis menurun di hari-hari berikutnya. Bukan karena evolusi alamiah lazimnya masjid-masjid menjelang akhir Ramadhan melainkan kebijakan pengurus masjid untuk menyajikan bacaan shalat 1 juz per malam. Shalat tarawih yang biasanya hanya memerlukan setengah jam menjadi lebih lama dua kali lipat.
Bagaimanapun, yang pertama-tama patut kita kagumi adalah semangat dan keikhlasan kedua-dua kelompok ?antagonis? di atas. Gerombolan penyerang JAI mempunyai landasan teologis mengapa mereka wajib menyerang sekte tersebut. Mereka tidak ingin agama yang mereka cintai itu dirusak atau disimpangkan oleh orang lain. Perilaku mereka adalah ekspresi cinta Tuhan, ingin mendapatkan pahala supaya beroleh surga di akhirat. Mereka sedih, marah, dan kecewa mengapa penganut Ahmadi itu dapat keluar dari akidah mayoritas Ahlusunah wal jamaah. Dengan menghancurkan markas mereka, diharapkan mereka dapat dibina oleh pembina dan penentu agama Islam yang resmi, Majlis Ulama Indonesia (MUI), sehingga menjadi sadar kembali ke jalan yang benar.
Pengurus masjid kampus tersebut juga mempunyai niat dan semangat yang patut dihargai. Mereka ingin jamaah shalat tarawih merasakan kenikmatan beribadah, tidak lagi menganggap tarawih sebagai pengisi waktu kosong di malam Ramadhan. Mereka ingin mengikuti saudara-saudaranya di Makkah yang membaca 1 juz per malam sehingga di akhir Ramadhan otomatis setiap jamaah telah khatam baca al-Quran. Dengan pahala yang berlipat ganda, maka sedikit lelah dan jauh dari keluarga hendaknya tidak menjadi halangan hadir di tarawih berjamaah ini.
Namun keinginan masyarakat yang berbeda dengan aktivis keagamaan itu juga tidak salah. Batas pengetahuan dan latar sosial yang membuat mereka masuk ke kelompok agama yang, ternyata dianggap sesat, sudah menjadi warisan keluarga adalah lumrah. Atau mereka mempunyai penyaksian spiritual yang lain yang berbeda dengan pemahaman kalangan awam. Di lain tempat, kalangan awam yang mempunyai paham keagamaan pas-pasan memandang bahwa agama tidak boleh malah membuat mereka terpenjara dalam slogan-slogan hukum yang tidak mereka pahami. Pandangan mereka simpel. Apabila orang sepuh, jompo, orang sakit, dan anak kecil terdiskualifikasi secara alamiah dalam barisan shalat tarawih 1 juz, maka ibadah itu salah. Minimal disalahkan oleh orang rumah karena ada anggota keluarganya yang pulang larut malam.
Keinginan beribadah dan menyiarkan ajaran agama yang benar sebagaimana Rasul menurunkannya secara benar ke umat kadang mendapat penolakan di masyarakat intra agama itu sendiri. Umumnya dianggap sebagai kejahiliahan masyarakat, bukan ahli agamanya.
Di wilayah lain, lembaga keyakinan kadang juga berbenturan dengan praktik yang sama yang dilakukan oleh penganut lembaga keyakinan lainnya. Nama Tuhan diperebutkan di berbagai mimbar peribadatan. Perbedaan tafsir tentang siapa hamba Tuhan yang terpilih di kalangan antar agama tak kurang membawa dampak drastis. Bukan sekadar pertempuran wacana di forum-forum ilmiah, melainkan juga penguasaan wilayah publik, monopoli tafsir atas teks suci dan kebijakan negara, sampai kepada penghilangan secara paksa keberadaan lembaga agama yang lain berikut penganutnya, sering disebut sebagai perang agama.
Keinginan luhur tersebut yang, sekali lagi, harus dihargai tesebut, ternyata juga menimbulkan kegelisahan kalangan masyarakat dan tokohnya yang aktivitas ekonominya terganggu. Selama ini relasi ekonomi yang berlaku diserahkan kepada mekanisme pasar. Biarkan konsumen memilih mana yang mereka butuhkan dan sukai. Orang menyebutnya penganut sekularisme. Namun agresivitas aktivis keagamaan membuat aktivitas tersebut tidak lagi netral. Ada hukum-hukum yang berada di luar hitungan ahli ekonomi yang justru mendominasi perputaran barang dan jasa tersebut. Ada halal dan haram yang menaungi setiap transaksi. Akhirnya, semangat wirausaha dan bertahan hidup pupus karena batasan hukum-hukum agama tersebut.
Kalau begini jadinya, mungkin ada yang salah dalam relasi antar kelompok tersebut. Kalau agama yang salah, jelas tidak mungkin. Terlalu banyak dalilnya manusia membutuhkan agama sebagai panduan hidup. Kehadiran majalah ini juga karena etos tersebut. Apabila kesalahan diserahkan kepada penganut non-agama juga terlalu gegabah. Pluralitas adalah keniscayaan. Kesadaran akan kemajemukan yang menjadi sumber dari dialog, demokrasi, dan seluruh struktur bangunan sosial-kemasyarakatan adalah inti dari nilai-nilai kemanusiaan.
Apabila demikian, mungkin kita perlu sedikit merenungi segenap keyakinan kita masing-masing, berikut lembaga dan aksesorinya. Dengan sedikit tenggang rasa dan mengerem nafsu misionaris dan perwartaan (dakwah) kepada orang lain baik yang seiman apalagi yang di luar itu diharapkan akan memunculkan pemaknaan baru tentang ?yang benar? dan ?yang lain?.
Yang benar senantiasa diklaim milik kita sendiri. Jadi, yang benar = kita. Sedangkan yang lain, siapapun mereka, niscaya salah. Yang lain = salah. Dengan demikian, ada makna yang berubah meskipun kita berhadapan dengan teks yang sama, dalam hal ini agama.
Sejak asali orang maklum, pesan suci agama memiliki setidaknya lima relasi besar. Pertama, relasi subjek dengan subjek itu sendiri, yakni dialog privat yang membuat individu merenung lebih dalam tentang hakikat realitas yang kemudian berdampak pada kedamaian dan kepasrahan.
Kedua, relasi subjek dan alam semesta, yakni upaya mencari hikmah dan tanda-tanda kehadiran Tuhan melalui keberadaan alam semesta yang kemudian melahirkan kasih sayang terhadap sesama makhluk.
Ketiga, relasi subjek dan manusia, yakni komunikasi dan dialog sebagai transformasi ide dan klafirikasi kebenaran subjektifnya yang memunculkan sebuah kesadaran kemanusiaan tentang pluralitas dalam wujud berita baik dan kabar gembira.
Keempat, relasi subjek dan sistem masyarakat, yakni ketika individu dan masyarakat akhirnya sepakat melahirkan sistem kemasyarakatan yang berkeadilan sosial-ekonomi sebagai wujud pembumian keadilan Tuhan.
Kelima, relasi subjek dan alam lain, yakni eksternalisasi iman sehingga seluruh entitas makhluk mendapatkan keselamatan. Jadi, tujuan semua agama adalah rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin).
Kelima hal tersebut tidak bertentangan dengan pondasi umum Islam. Secara generik Islam hanya mengandung dua hal saja: tauhid (monoteisme) dan ketundukan dan kepasrahan (taslim). Dalam berbagai telaah historis, menurut sejarawan agama Ibrahimik, diketemukan bahwa sesungguhnya monoteisme murni hanya ada di Islam. Namun konsep ini tidak selesai sebelum internalisasi iman dalam kepasrahan yang bisa diperoleh setiap manusia. Konflik hermeneutis, meminjam Paul Ricouer, dapat dijembatani dengan dialog dan bukan ghibah. Sehingga, ucapan ?inna al-dina inda Allahi al-Islam? adalah juga berlaku untuk semua umat beriman yang benar-benar memasrahkan diri kepada Tuhannya, beriman kepada hari akhir dan beramal saleh (QS. Al-Baqarah [2]:62).
Dalam kerangka sesama penganut Islam, kita mungkin dapat merujuk Cak Nur tentang pentingnya memahami relativisme internal, Ibn Taymiyyah menyebutnya sebagai prinsip yang agung (ashl azhim), bagi sesama umat Islam dengan senantiasa mendahulukan baik sangka (husnudzan) daripada buruk sangka (suudzan) demi terwujudnya persaudaraan berdasar iman (ukhuwah Islamiyyah). Semua dalam kerangka menyebarkan keraguan yang sehat (healthy scepticism) atau hikmat keraguan (benefit of doubt), sebagaimana dalam al-Quran ?Wahai sekalian orang-orang yang beriman, janganlah ada suatu kaum di antara kamu yang memandang rendah kaum yang lain, kalau-kalau mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah?? (QS Al-Hujurat [49]: 11).
Takwa adalah kesadaran ketuhanan (God-consciousness) tentang Tuhan Yang Mahahadir (Omnipresent). Dalam perpsektif A. Yusuf Ali, konsep ini dikerucutkan dari empat manifestasi takwa: 1) Keimanan yang sejati dan murni; 2) Pancaran iman dalam bentuk tindak kemanusiaan kepada sesama; 3) Berwarga negara yang baik dan mendukung sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan; 4) Jiwa pribadi yang teguh (hal 44).
Di sini, tidak ada diskusi mengapa harus Islam karena semua agama juga berlaku sama. Untuk memahami makna dan tujuan hidup hanya dapat ditopang oleh hati nurani yang tulus dengan senantiasa menyucikan kalbu, hakikat diri yang paling pribadi yang senantiasa bergantung kepada Tuhan YME.
Islam dan Yang Lain
Tiada yang tak sepakat dengan konsep ini tersebut di atas. Namun kemudian berbeda ketika terejawantahkan dalam klaim egoistik ?karena semua ini benar, semua ini milik kami?.
Immanuel Kant mengungkapkan, ?faith starts when reason stops?. Maka relasi antar umat beriman adalah menyebarkan semangat kemanusiaan dalam pondasi beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa. Tidak boleh ada paksaan dalam agama karena setiap manusia sebenarnya mengetahui mana yang hak dan yang batil (hal 86). Pengetahuan hudhuri tentang yang batil ditandai dengan semangat uniformitas, upaya memaksakan setiap keragaman dan pluralitas manusia dalam satu wadah. Ini contradiction in terminis.
Relativisme internal akan mengarah kepada relativisme eksternal bahwa sesama pencinta kebenaran tidak akan saling menyalip, tidak saling berebut kasih Tuhan karena rebutan adalah tanda tak ada kasih. Penghayatan yang mendalam di setiap umat dalam semangat kepasrahan dan ketundukan akan mengerucut pada titik pertemuan universal (Kalimatun sawa/common platform) yang menjadi agenda besar kemanusiaan. Relasi antar kaum beriman yang menyeluruh tidak boleh dibatasi sebuah nilai yang eksklusif melalui demitologisasi sehingga tidak memunculkan kesombongan fanatis dari setiap kelompok. Islam adalah agama amicital yang anti sakramentalisme.
Maka, melihat perjalanan sejarah hitam Islam, adalah sesuatu yang wajar dan profan, dan bukan representasi ajaran Islam itu sendiri. Kesenjangan antar umat beriman dan pendangkalan firman Tuhan terjadi di banyak agama ketika mereka diposisikan menjadi sentra pesan langit tanpa sebuah pemahaman sosiologis bahwa ketika sebuah pesan suci dibumikan maka spasio-temporal telah mendegradasikan nilai-nilai langit tersebut sehingga sangat mungkin multi-interpretatif. Disinilah diperlukan kearifan yang lebih luas dari sekadar pengakuan kepada Tuhan dan ajaran-Nya dalam bentuk toleransi kepada setiap lembaga keagamaan sehingga tercipta kerjasama kemasyarakatan yang merupakan hahikat kemanusiaan sebagai makhluk sosial.
Setiap perayaan membutuhkan biaya. Perayaan yang berhubungan dengan harkat hidup dan nilai kemanusiaan tentu mempunyai biaya sosial yang lumayan tinggi juga. Robert N Bellah dan Casanova mengatakan bahwa agama mempunyai sifat publik (civic) yang penuh dimensi inklusivitas, universalitas, dan transendental; dan bukan tidak mempribadi (deprivatized) yang penuh ruah eksklusivitas, partikularitas, primordialitas
Maka bagaimana kita ingin mengagungkan lembaga keyakinan kita adalah justru dengan bagaimana kita menghadirkan jiwa kita dalam komunitas lain. Paling tidak terdapat beberapa hal mendasar yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah penghargaan terhadap eksistensi komunitas lain sehingga kita akan dihargai oleh kalangan lain. Apabila masih belum bisa menjangkau wilayah tersebut, akuilah dan hargailah kehadiran mereka di dunia sebagai sesama makhluk Tuhan.
Kedua adalah memunculkan kepedulian yang tulus terhadap segala kesusahan dan penderitaan mereka sehingga makhluk lain pun akan peduli dengan segala kesusahan kita. Apabila masih susah dijalani, maka setidaknya kita hendaknya memunculkan rasa bersalah dan harapan kepada mereka yang tertindas.
Ketiga, bekerjasama dalam berbagai masalah kemanusiaan karena tiada manusia yang dapat hidup tanpa masyarakat dan menolong setiap usaha mereka karena suatu saat kita niscaya membutuhkan pertolongan orang lain. Apabila masih sukar dilakoni, anggaplah ini sebagai muamalah biasa tanpa tendensi dan sangkaan.
Kesenjangan antar masyarakat diyakini akan berkurang dan berakhir pabila telah terbentuk masyarakat etika yang sadar hukum dan memperjuangkan keadilan. Sekularisasi, bukan sekulerisme sebagai paham, adalah sebuah keniscayaan tentang realitas plural ini.
Namun, kesadaran tentang basis kultural turut menentukan setiap langkah setruktural ketika struktur tersebut dipahami sebagai upaya mengatur disiplin warga dalam seperangkat undang-undang. Dalam perspektif inilah sosialisasi ajaran-ajaran pluralis tidak boleh berhenti pada forum-forum elitis, melainkan harus membumi dan merembes ke tingkat akar rumput (grassroot). Selama ini awam maklum bahwa pelaku tindakan kekerasan terhadap/atas nama agama justru dilakukan oleh kalangan menengah-bawah, terutama generasi muda.
Maka klaim kebenaran mestikah Islam, dan juga agama lain, sebagai lembaga keyakinan yang paling benar layak untuk diteliti tanda kadaluarsanya (expire date). Sebagai alat mobilisasi untuk menjalankan amar maruf nahi munkar, agama tidak boleh berhenti menjadi kelompok etnis. Sebagai sistem nilai, internalisasi tidak boleh berhenti di tataran elit (tokoh agama dan/atau pimpinan parpol) karena cenderung terkapling pada kepentingan (vested interest) dalam negosiasi retoris. Masyarakat etis yang sesungguhnya adalah MASYARAKAT UNIVERSAL yang sudah meLINTAS (passing-over) dalam keranda AGAMA formal karena penghambaannya kepada MAULA-nya, Gusti Nu Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar