Senin, 27 Oktober 2008

Teladan Pejuang yang Sabar

Para imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah Swt untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul dalam mencapai derajat kemanusiaan dan kemuliaan akhlak.

Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan (Imam Ali) Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga orang itu menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintah. Dan barangsiapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau pada masanya, maka janganlah engkau percaya.”

Hari Lahir

Imam Ali Ridha as lahir pada 11 Dzulqaidah 148 H di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Kazhim as, dan ibunya seorang perempuan mukmin nan saleh bernama Najmah. Imam Ali Ridha menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.

Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ridha.

Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazhim), tiba-tiba datang Ali Ridha as. Lalu beliau (Imam Musa) berkata, ‘Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.”

Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku (Imam Musa Kazhim) beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.”

Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya, maka Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya Ali Ridha sambil berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.”

Pada masa itu, situasi amat mengkhawatirkan sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya, Ali Ridha as.

Budi Pekerti yang Agung

Seorang laki-laki menyertai Imam Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka (tuan dan budak) dalam satu jamuan makan?”

“Sesungguhnya Allah Swt Esa, dan manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan,” demikian jawab Imam as.

Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ridha)!”

Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”

Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.”

Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu sebab orang yang lebih baik daripadaku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Zat yang menorehkan ayat ini, Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.”

Pernah suatu saat, Imam Ali Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh besar nikmat Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kauberikan kepadaku atas namamu karena aku tidak berhak menerima infak.”

Dengan nada lembut, Imam Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”

Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.”

Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu, Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?”

Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan korespondensi dengan Imam Ali Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan Ali Ridha sebagai imam.

Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Imam Ridha as memintaku datang menjumpainya dengan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah diskusi. Hingga tiba waktu ‘Isya, kami melaksanakan salat. Seusai salat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.

Aku menjawab, “Tidak, demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.”

Beliau berkata kepadaku, “Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.”

Sementara Imam turun, aku berkata kepada diriku sendiri, “Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang tidak kutemukan dari orang lain. Sungguh dulu aku telah tertipu oleh setan.”

Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku, beliau berkata, “Suatu hari, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menengok Sa’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Wahai Sa’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.”

Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam pikiran Bizanthi hingga menasehatinya dan mengingatkannya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan “Sang Api”.

Khalifah Makmun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.

Makmun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as tidak setuju dengan perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya, Imam as berkata, “Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasulullah saw dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, tetapi Hasan dan Husain.

“Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah Swt. Apakah engkau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan daripada ayahmu, Musa bin Ja’far as!”

Zaid berkata, “Bukankah aku saudaramu?”

Imam menjawab, “Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau Maha Pengasih.’”

“Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’”

“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat tulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”

Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan, ‘Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali mengatakan, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, ‘Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’”

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan, masuklah waktu zuhur. Imam as meminta air untuk berwudhu tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke kubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami, Ahlulbait.”

Kemudian, beliau melakukan salat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.

Di Moro

Sampailah Imam Ali Ridha as di Moro. Makmun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, Imam menolaknya.

Imam Ali Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Makmun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta.

Makmun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Makmun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Makmun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Makmun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as).

Lebih daripada itu, Makmun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Jawad as.

Shalat Id

Imam Ali Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Makmun memerintahkan Imam Ridha as untuk menjadi imam Salat Id.

Imam keberatan. Namun, Makmun bersikeras atas keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik Imam.

Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Salat Id sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Makmun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar.

Matahari terbit menampakkan garis emas berkilauan dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ridha as mandi dan memakai pakaian serta serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Id yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh daripada makna takbir. Namun, kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang pernah dibawa oleh Nabi saw, dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ridha as.

Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Makmun. Dia malah khawatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khotbah.

Makmun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ali Ridha as, yang masih dalam perjalanan. Kepada Imam, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”

Imam as pun kembali sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Makmun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Makmun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Makmun, di antaranya adalah:

  1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah (Makmun pada saat itu tengah berkonflik dengan anggota keluarga Abbasiah lainnya) dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan.
  2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena menginginkan kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
  3. Makmun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang kemudian terjadi terhadap Imam Ali Ridha as.

Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Makmun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan. Ini terlihat dari sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Salat Id, dan syarat beliau atas Makmun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Da’bal al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serba kurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal al-Khuza’i.

Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ridha. Abu Shlat al-Harawi meriwayatkan, “Da’bal menjumpai Imam Ali Ridha as di Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’”

Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilakannya untuk menyenandungkan syair itu. Di antara bait-bait syair Da’bal ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci

kini telah sunyi dari pengunjung

Rumah wahyu tidak lagi

dituruni kabar-kabar langit

Pusara di Kufah dan

yang lainnya di Thaibah (Baqi’),

Pula yang di Fakh (Karbala)

senantiasa tercurah salawatku

Dan pusara di Baghdad,

milik jiwa yang suci

Tercurahkan rahmat Sang Pengasih

dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya,

Pusara di Thusi betapa besar

Dera nestapa yang menimpanya

Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”

“Itulah pusaraku wahai Da’bal!” jawab Imam as.

Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis. Air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, Da’bal merasa berat menerimanya dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.

Da’bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.

Di tangan mereka harta rampasan dari emas

Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”

“Ini puisi Da’bal,” jawab perampok itu.
“Akulah Da’bal,” kata Da’bal memperkenalkan diri.

Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat serta meminta maaf kepada mereka.

Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu dinar, namun Da’bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk tabaruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da’bal pun merelakannya.

Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Namun, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan.”

Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat karamah Imam Ali Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Makmun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ridha as dengan kekuasaan, sementara Imam tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Makmun pun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh Imam.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangan Makmun. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Makmun, karena khawatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Makmun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di minuman.

Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ridha as syahid pada 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).

Sementara itu, Makmun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Semoga wiladah agung Imam Ali bin Musa Ridha pada menjadi hari bahagia buat kita semua.

Tidak ada komentar: