KEPERCAYAAN pada konsep dan eksistensi Imam Mahdi agaknya sudah menjadi kepercayaan umum, baik di kalangan Islam maupun non-Islam, baik Ahlusunnah maupun Syi'ah. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai kajian ilmiah yang terbit di Tanah Air. Yang menjadi objek perselisihan di kalangan umat Islam adalah masalah penetapan identitas Imam Mahdi itu sendiri.
Setidaknya ada dua versi ihwal jatidiri juru selamat dunia ini. Sebagian besar golongan Ahlusunnah menganggap bahwa Imam Mahdi itu bernama Muhammad bin Abdullah, yang akan muncul menjelang hari kiamat tiba. Ini berdasarkan sebuah hadis dari Nabi saw yang mengatakan bahwa ?nama Imam Mahdi itu sama dengan namaku, ayahnya sama dengan nama ayahku.?
Sementara, di pihak lain, kalangan Syi'ah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu adalah gelar untuk Muhammad bin Hasan Askari bin Ali Hadi bin Muhammad Jawad bin Ali Ridha bin Musa Kazhim bin Jafar Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah saw. Ulama Sunni yang mengurutkan dua belas imam dari jalur Ahlulbait ini adalah Syekh Qanduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi al-Mawaddah. Lebih rinci tentang masalah ini dapat pembaca simak dalam berbagai buku yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Selebihnya di luar maksud tulisan ini.
Kegaiban Imam Mahdi
Imamiyah meyakini bahwa imam kedua belas mereka ini mengalami dua kegaiban: kegaiban pendek (ghayb shughra) dan kegaiban panjang (ghayb kubra). Kegaiban pertama dimaksudkan, di antara beberapa alasan, untuk menghindari terjadinya pembunuhan pada diri Imam Mahdi, yang kabar tentang kelahirannya telah masyhur di kalangan umat Islam, termasuk penguasa Bani Abbasiyah saat itu. Mereka memata-matai rumah Imam Hasan Askari yang dinubuatkan sebagai tempat kelahiran Imam Mahdi. Alasan lain adalah untuk mempersiapkan umat Syi'ah dalam menerima otoritas ulama yang kompeten selama kegaiban beliau.
Pada masa kegaiban pendek, umat Syi'ah menyampaikan masalah-masalah mereka kepada wakil khusus Imam as, yang terkenal sebanyak empat orang. Empat wakil ini kemudian menyampaikan permasalahan tersebut kepada Imam Mahdi as. Pasca kegaiban pendek, yang ditandai dengan berakhirnya perwakilan khusus Imam, akhirnya umat Syi'ah terbiasa untuk menerima kepemimpinan ulama mereka dalam kegaiban panjang ini. Dari sini, setidaknya bisa dilacak konsep kemarjaan (marja'iyyat) dalam Dunia Syi'ah yang begitu established, khususnya setelah kaum ushuli mendominasi wacana ilmiah Syi'ah.
Taklif-taklif Di Masa Kegaiban Panjang
Taklif terpenting di masa kegaiban panjang, yang bisa disimpulkan dari hadis-hadis, adalah masalah penantian (intizhar al-faraj) itu sendiri. Dalam masa penantian ini, ada beberapa kewajiban seperti berikut.
Pertama, penguatan terhadap keyakinan mengenai pemimpin di masanya, kegaibannya, kepastian mengenai kemunculannya, dia hidup dan memperhatikan segala urusan, mengetahui segala perbuatan manusia, kondisi yang mereka hadapi, serta beliau menanti terkumpulnya syarat-syarat yang dibutuhkan untuk kemunculannya. Untuk mendalami pengetahuan-pengetahuan ini, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti naqli (nas-nas baik berupa al-Quran maupun hadis) yang sahih dan argumentasi-argumentasi akal yang sehat.
Kita akan menjumpai hadis-hadis mengenai kewajiban penantian ini melalui contoh-contoh lainnya. Lebih-lebih hal ini dapat kita jumpai melalui doa-doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca pada masa kegaiban dan sangat ditekankan untuk melakukan kewajiban ini serta mengukuhkan pengetahuan terhadap Imam.
Satu contoh, Kulaini dalam kitab Al-K?f?, meriwayatkan dari Zurarah, bahwa Imam Ja'far Shadiq as berkata, ?Sesungguhnya bagi Al-Qaim terjadi kegaiban?dia adalah orang yang dinanti-nantikan, dia adalah orang yang kelahirannya diragukan.? Zurarah berkata, ?Aku menjadi tebusanmu, jika aku mendapat kesempatan mengalami masa itu, apa yang harus aku lakukan??
Imam menjawab, ?Wahai Zurarah, jika kau mendapati masa tersebut, maka berdoalah dengan doa ini, 'Ya Allah, perkenalkan Diri-Mu padaku, jika Kau tidak mengenalkan diri-Mu, maka aku tidak mengenal Rasul-Mu. Ya Allah, perkenalkan kepadaku Rasul-Mu, Jika Kau tidak mengenalkan Rasul-Mu kepadaku, maka aku tidak mengenal hujjah-Mu. Ya Allah, perkenalkan hujjah-Mu kepadaku, jika Kau tidak memperkenalkan kepadaku hujjah-Mu, maka aku akan tersesat dalam agamaku ?'
Kedua, mengokohkan hubungan batin dengan Imam Mahdi as, berperan aktif sesuai dengan tujuan-tujuan mulia beliau dan mempertahankannya serta memiliki ikatan batin yang dalam dengan kepemimpinan beliau. Hal-hal seperti inilah yang merupakan kewajiban secara umum yang dikuatkan dan disebutkan dalam berbagai hadis.
Misalnya, kewajiban seorang mukmin untuk berdoa untuk beliau demi penjagaan, pertolongan dan memohon untuk dipercepat kemunculan dan kehadiran beliau, memohon kehancuran para musuhnya, bersedekah untuknya, berkesinambungan dalam berziarah kepada beliau dan lain-lainnya seperti yang telah disebutkan dalam berbagai hadis.
Menghidupkan perintah ajaran Ahlulbait as, yang mencerminkan kepada beliau-semoga Allah Swt mempercepat kemunculannya-dengan perbuatan yang dapat membahagiakan beliau seperti berbuat sesuai dengan ajaran Islam yang suci yang mendorong dirinya, menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka, mengenalkan keteraniayaan yang mereka alami, ber-wil?yah kepada mereka dan berlepas diri dari musuh-musuh mereka; berbuat sesuai dengan pesan-pesan dan warisan-warisan mereka; mengedepankan upaya pembelajaran mengenai mereka; menolak untuk merujuk pada para penguasa atau pemerintah yang zalim; merujuk kepada para fakih yang adil yang dijadikan oleh para imam sebagai hujjah mereka bagi umat manusia di zaman kegaiban.
Ketiga, memperkuat poros keimanan, saling menasehati dalam kebenaran Islam yang suci dan saling menasehati dalam kesabaran. Inilah bentuk-bentuk nyata dari kewajiban-kewajiban khusus di masa kegaiban panjang.
Pentingnya Penantian
Hadis-hadis memberikan penekanan yang mendalam mengenai besarnya pengaruh penantian al-faraj yang dalam bentuk umum sesuai dengan kemunculan al-Mahdi sebagai salah satu bentuk objek yang nyata khususnya menanti kemunculan Imam. Sebagian riwayat menyifati penantian sebagai ibadah terbaik seorang mukmin sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ali as, ?Ibadah seorang mukmin yang paling afdhal adalah menanti al-faraj Allah.?
Tak pelak lagi, ibadah seorang mukmin lebih baik dari ibadah seorang Muslim. Dengan demikian, menanti kehadiran Imam Mahdi adalah ibadah yang paling afdhal jika hal ini diniatkan untuk beribadah pada Allah Swt dan tidak mengharapkan sesuatu dari dunia.
Penantian terhadap kemunculan Imam Mahdi as mengukuhkan keterkaitan manusia dengan Allah Swt dan hubungannya dengan keimanan aplikatif bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk menjalankan perintah-Nya dan sesungguhnya Dia berkuasa atas segala sesuatu. Dialah Allah yang mengatur urusan para makhluk-Nya dengan kebijaksanaannya yang penuh kasih sayang terhadap mereka.
Ibadah tidak bernilai jika tidak disandari dengan keimanan dan ketauhidan yang murni yang dikukuhkan dengan adanya penantian terhadap kemunculan Imam.
Riwayat mengatakan bahwa Imam Ja'far Shadiq as berkata, ?Akan aku sampaikan kepada kalian sesuatu yang Allah Swt tidak akan menerima amal ibadah kecuali dengan sesuatu tersebut?Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, mengikrarkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta ber-wil?yah kepada kami dan berlepas diri dari musuh-musuh kami-yakni khusus para imam-pasrah kepada mereka, warak, dan berupaya keras dengan penuh ketenangan serta menanti kehadiran al-Qaim??
Hakikat Penantian
Penantian adalah sebuah kondisi psikologis yang memunculkan persiapan terhadap sesuatu yang dinantikan dan lawan kata dari hal itu adalah putus asa. Setiap kali penantian meningkat, maka persiapan semakin banyak. Tidakkah Anda merasakan jika menanti seseorang yang akan datang, maka akan bertambah pula persiapan Anda ketika kedatangan seseorang itu semakin dekat. Bahkan, mungkin Anda akan mengganti riqad Anda dengan sihad karena besarnya penantian.
Dari sisi ini, setiap kali tingkatan penantian mengalami perbedaan maka terjadi pula perbedaan kecintaan terhadap orang yang Anda nantikan. Manakala kecintaan semakin besar maka bertambah besar pula persiapan menyambut kedatangan orang yang dicintai. Perpisahan dengan sang kekasih membuatnya sedih. Sampai-sampai orang yang menanti melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penjagaan dirinya, dia tidak lagi merasakan apa yang menimpa dirinya dari rasa sakit ataupun tekanan yang menyayat.
Seorang mukmin yang menanti pemimpinnya, manakala penantiannya semakin besar maka semakin besar pula upaya dirinya untuk mempersiapkan baik dengan berbuat warak, berupaya sungguh-sungguh, melakukan pembenahan diri, menghindari akhlak-akhlak yang buruk, menghiasi dengan akhlak-akhlak yang terpuji sehingga ia berhasil menjumpai pemimpinnya, menyaksikan keindahannya di masa kegaibannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada sejumlah besar orang saleh.
Karena itu, para imam maksum memerintahkan para pengikut mereka, sesuai dengan yang tercantum dalam riwayat-riwayat, untuk melakukan upaya pembenahan diri dan melaksanakan segala bentuk ketaatan.
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Bashir dari Imam Ja'far Shadiq as yang mengisyaratkan dan menunjukkan kemungkinan terjadinya keberhasilan tersebut dan pahala yang dapat diperoleh.
Beliau berkata, ?Siapa yang kebahagiaannya adalah menjadi salah seorang sahabat al-Qaim, maka hendaknya ia menanti dan beramal dengan warak, berakhlak yang baik, dan dia dalam kondisi menanti. Jika ia meninggal dan al-Qaim muncul setelahnya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berjumpa dengan al-Qaim...?
Tak syak lagi, setiap kali penantian semakin kuat maka orang yang menanti akan mendapatkan tingkatan dan pahala yang lebih besar dari Allah Swt.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan penantian adalah mengawasi kemunculan dan penegakan pemerintah yang kuat bagi al-Mahdi dari keluarga Nabi saw. Pemerintahan itulah yang kelak memenuhi bumi dengan keadilan dan kebahagiaan, kejayaan agama di atas agama-agama lain sebagaimana yang difirmankan Allah kepada Nabi-Nya dan menjanjikan hal tersebut.
Oleh karena itu, penantian meliputi kondisi hati yang dimunculkan oleh keyakinan dasar yang kokoh mengenai keharusan munculnya al-Mahdi yang dijanjikan. Beliaulah yang merealisasikan tujuan-tujuan para nabi dan risalah yang mereka sampaikan serta mewujudkan harapan-harapan manusia. Kondisi kejiwaan seperti ini memunculkan reaksi dalam bentuk sebuah gerakan dan perbuatan yang berporos pada persiapan dan upaya kelayakan untuk kemunculan sang juru penyelamat yang dinanti-nantikan.
Melalui penjelasan di atas, jelaslah penantian tidak dianggap benar jika tidak terkumpul tiga unsur yang berkaitan satu sama lain, yaitu keyakinan, kejiwaan, dan spiritualitas. Jika tidak memiliki ketiga unsur tersebut, maka penantian tidak memberi makna apa pun dari sebuah keimanan yang benar kecuali sebuah angan-angan yang dibangun berdasarkan logika Bani Israil yang mengatakan, ?Pergilah engkau bersama tuhanmu dan berperanglah sementara kami duduk menanti di sini.? (QS. Al-Maidah [5]:24)
Dua Bentuk Penantian
Menanti kemunculan Imam Mahdi ada dua bentuk. Pertama, penantian konstruktif yang menimbulkan sebuah gerakan dan pelaksanaan. Penantian semacam ini adalah ibadah bahkan ibadah paling afdhal. Kedua, penantian destruktif yang mencegah manusia untuk berbuat. Penantian seperti ini adalah salah satu bentuk ketidakpedulian.
Kedua bentuk penantian tersebut merupakan hasil dari pemahaman esensi kemunculan sejarah besar bagi Imam Mahdi yang dijanjikan. Sebagian menafsirkan bahwa masalah kemahdian dan kebangkitan yang dijanjikan adalah sebuah bentuk luapan tidak lebih. Hal itu muncul karena tersebarnya kezaliman, rasialis, perampasan hak-hak, dan kerusakan.
Dengan masalah kemahdian dan kebangkitan yang dijanjikan, terjadi sebuah luapan munculnya tangan-tangan gaib untuk mengangkat kebenaran. Dengan demikian, salah satu bentuk bantuan yang dapat dilakukan oleh manusia untuk mempercepat kemunculan Al-Mahdi dan merupakan bentuk terbaik dari sebuah penantian adalah (ketidakpedulian terhadap) penyebaran kerusakan.
Akan tetapi, dari ayat-ayat al-Quran dapat disimpulkan bahwa kemunculan Imam Mahdi yang dijanjikan merupakan satu bentuk upaya di antara upaya-upaya pejuang kebenaran melawan pengikut-pengikut kebatilan yang berakhir pada kemenangan mutlak pembela kebenaran. Keikutsertaan manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan seperti ini sangat bergantung pada peran aktif mereka dan upaya penggabungan diri di barisan para pembela-pembela kebenaran.
Dari riwayat-riwayat Islam, dapat dipahami bahwa kemunculan al-Mahdi dibarengi dengan pertentangan antara kebahagiaan dan kesengsaraan pada taraf puncak. Namun, yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah kebahagiaan telah dihancurkan oleh kesengsaraan. Hadis-hadis yang membicarakan tentang sifat-sifat dari para pembela kebenaran yang bergabung dengan Imam sebelum kemunculannya.
Meskipun kita gambarkan bahwa mereka memiliki jumlah yang sangat sedikit, tetapi dari sisi kualitas mereka adalah orang-orang mukmin terbaik yang telah mencapai tingkatan para penolong sayyid asy-syuhada (pemimpin para syahid) Imam Husain as. Begitu pula banyak hadis yang membicarakan persiapan untuk revolusi Imam Mahdi dengan serangkaian perlawanan yang dilakukan oleh para pembela kebenaran.
Begitu pula sebagian dari riwayat tersebut juga membicarakan mengenai pemerintahan yang didirikan oleh para pembela kebenaran dan pemerintahan itu akan terus berlangsung hingga munculnya revolusi besar dunia melalui Imam Mahdi as.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa dalam penantian yang diinginkan oleh syariat ada sejumlah persyaratan yang tanpa persyaratan tersebut penantian tidak terealisir seperti kewajiban-kewajiban penting yang harus dilakukan pada masa kegaiban.
Syarat-Syarat Penantian
Kita dapat menyebutkan beberapa syarat-syarat penantian secara global. Syarat-syarat tersebut juga mengandung penjelasan hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang mukmin sehingga dapat disebut sebagai para penanti sesungguhnya (muntazhir). Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Memperdalam pengetahuan tentang Imam Mahdi-semoga Allah mempercepat kemunculannya-keimanan pada imamahnya, menegakkan tugas-tugas pentingnya, mengenal perannya dalam sejarah dan sisinya, kewajiban-kewajiban yang ada di dalamnya serta peran mukmin terhadap kewajiban tersebut.
Selain itu, menguatkan hubungan dengannya dan mengukuhkan kaitan terhadap perannya dalam sejarah. Hal yang juga patut untuk dilakukan oleh seorang mukmin adalah memperkokoh keyakinan bahwa kemunculannya sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu. Hal ini mengharuskan seorang mukmin untuk selalu siap menyambut kedatangannya sewaktu-waktu.
Kedua, Menguatkan keikhlasan di berbagai bentuk aplikasi penantian terhadap Imam Zaman dan menyucikan dirinya dari berbagai kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan materi maupun pribadi. Seorang penanti sejati hendaknya menjadikan seluruh amal persiapan dirinya dengan penuh keikhlasan pada Allah Swt, dengan niat beribadah dan upaya mencapai keridhaan-Nya. Dengan hal tersebut, maka penantian menjadi ibadah paling afdhal.
Ketiga, Upaya pembenahan diri dan persiapannya secara sempurna untuk membantu perjuangan Imam as melalui kesungguhan dalam berpegang teguh pada tsaqalain (al-Quran dan keluarga Nabi) dan berakhlak dengan keduanya sehingga dengan hal-hal tersebut seorang mukmin benar-benar menjadi pengikut Imam Mahdi as. Dengan terpenuhinya syarat-syarat kepribadian, ketuhanan, dan perjuangan, seorang mukmin mampu menjadi penolong Imam dalam merealisasikan tujuan-tujuan beliau.
Keempat, Mengupayakan sebuah gerakan pada tingkatan sosial guna mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi as dengan cara mengajak manusia kembali pada agama Allah yang benar, mendidik para pembela Imam, dan memberikan kabar gembira dengan adanya revolusi besarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa penantian yang sesungguhnya mengandung gerakan membangun dan berkesinambungan dalam kerangka persiapan kemunculan sang Juru Selamat yang dinanti-nantikan baik secara pribadi maupun sosial meskipun menghadapi kondisi yang tidak kondusif atau sangat sulit.
Imam Khomeini ?semoga Allah menyucikan ruhnya? di akhir penjelasannya yang disampaikan dalam sebuah peringatan Nishfu Sya`ban sebelum beliau wafat berkata, ?Salam sejahtera baginya (Imam Mahdi yang dijanjikan), salam sejahtera bagi para penantinya yang sesungguhnya, salam sejahtera baginya dalam kegaiban maupun kemunculannya, salam sejahtera bagi orang-orang yang menjumpai masa kemunculannya dengan hakikat yang sesungguhnya yang menghilangkan dahaganya melalui cawan hidayah dan pengetahuannya, salam sejahtera bagi bangsa Iran yang besar yang mempersiapkan kemunculannya dengan berbagai pengorbanan dan kesyahidan?.? (Shahife-Nur, hal.21)[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar