Selasa, 14 Oktober 2008

Resesi Keuangan AS, Pusaran Badai Ekonomi Barat

Resesi Keuangan AS, Pusaran Badai Ekonomi Barat

Resesi keuangan AS, merupakan masalah serius bagi perekonomian kapitalis Eropa dan Asia. Munculnya resesi ini, menunjukan dampak dari kinerja delapan tahun pemerintahan George W. Bush pada masa-masa akhir jabatannya. Kini, warga AS dan mitra Amerika di Eropa tengah mengalami resesi keuangan terbesar yang tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan dampak krisis ini melampaui teritori AS. Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF), sebagian besar indeks ekonomi AS mencapai rekor terburuk sepanjang sejarah negeri ini. Lonjakan defisit tertinggi dalam neraca perdagangan AS sepanjang sejarah, utang terbanyak pemerintah AS dalam beberapa dekade terakhir, defisit neraca keuangan pemerintah yang tidak pernah terjadi sebelumnya, lonjakan angka pengangguran dan turunnya tabungan nasional dalam tiga dekade terakhir, menunjukan kondisi buruk ekonomi AS pada tahun terakhir pemerintahan Bush. Diprediksikan defisit neraca perdagangan AS hingga akhir tahun ini mencapai angka 634 milyar USD. Berdasarkan laporan IMF, utang bersih pemerinta AS hingga tahun 2008 akan melampaui angka 6.800 milyar USD. Tanda lain dari jebloknya ekonomi AS adalah penurunan volume tabungan hingga 13 % dibandingkan dengan neraca produksi bruto dalam negeri. Resesi keuangan terbaru, sejatinya menunjukan keterpurukan ekonomi AS.


Resesi ekonomi AS berawal dari bangkrutnya bank-bank raksasa kredit properti yang kemudian menggoyang sistem moneter AS. Bank-bank seperti Fannie Mae, Freddie Mac dan Lehman Brothers sebagai bank kredit properti terbesar di AS, memiliki total investasi ribuan milyar USD. Kebangkrutan bank-bank tersebut dipicu oleh ketidakmampuan jutaan warga AS dalam membayar pinjamannya, akibat lonjakan angka inflasi dan meningkatnya suku bunga. Sebagai contoh, lembaga finansial Lehman Brothers dengan investasi sekitar 600 milyar USD, harus membayar debit lebih dari angka investasinya. Bank-bank tersebut membentur krisis karena para debitor, dengan berbagai alasan, tidak mampu membayar cicilan utang propertinya dan pihak bank pun akhirnya melelang rumah-rumah mereka. Namun, ternyata bank tidak mampu menjual rumah-rumah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan turunnya harga rumah dan terpuruknya pasar properti.

Berdasarkan data statistik, dilaporkan sekitar 9 juta warga AS tidak mampu membayar cicilan kredit rumah mereka. Pasar properti memainkan peran penting di pasar keuangan dan investasi AS. Setiap perubahan di pasar properti, sekali lagi berdampak besar terhadap perekonomian AS. Mayoritas warga AS meminjam uang untuk membeli rumah dan bank-bank AS pun memberikan kredit hingga 95 % dari nilai rumah tersebut kepada nasabah.

Pasca peristiwa 11 September 2001, pemerintahan Bush menerapkan kebijakan penurunan suku bunga sebagai upaya menggenjot sektor keuangan dan industri AS. Suku bunga 6% dalam waktu singkat di AS turun hingga 1%. Kebijakan ini diambil Bush untuk mencegah terpuruknya ekonomi AS dan menahan laju penurunan lebih besar nilai saham di pasar bursa Wall Street. Menyusul penurunan suku bunga ini, permintaan kredit terutama di sektor properti melonjak. Dengan kenaikan permintaan kredit properti tersebut, neraca permintaan (demand) pembelian rumah melampaui penawarannya (supply) dan harga properti pun meroket. Pada saat harga properti melonjak, harga minyak dunia melambung dan terjadi kenaikan inflasi di AS. Kenaikan harga properti dan minyak ini memicu lonjakan suku bunga yang berdampak anjloknya harga rumah, karena debitor tidak mampu mengembalikan cicilan kredit rumahnya.

Munculnya krisis di pasar properti AS menyebabkan anjloknya nilai saham di pasar bursa Wall street, melebihi angka penurunan pasca peristiwa 11 September 2001. Presiden AS mencabut seluruh programnya dan mengadakan rapat darurat dengan pejabat tinggi ekonomi AS di Gedung Putih. Pertemuan ini berbuah usulan program penyelamatan ekonomi yang diajukan kepada Kongres dengan anggaran sebesar 700 milyar USD. Namun delegasi dari dua partai Demokrat dan Republik menolak usulan Bush tersebut. Republikan menolak program penyelamatan ekonomi Bush dan menentang intervensi pemerintah dalam penanganan resesi keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan ketentuan ekonomi liberal yang dianut negeri Paman Sam. Adapun anggota Demokrat yang menolak usulan Bush mengemukakan pertanyaan mengapa para pembayar pajak AS harus membayar kekeliruan manajemen dan kerakusan bank-bank dan lembaga finansial swasta? Setelah dilakukan berbagai revisi pada usulan pertama, akhirnya Kongres AS mengesahkan program penyelamatan ekonomi Bush. Namun kini muncul pertanyaan, seberapa besar dampak program penyelamatan ekonomi mampu mengontrol kebangkrutan bank-bank dan lembaga keuangan serta efek domino resesi keuangan terakhir tersebut?

Para pejabat di Departemen Perbendaharaan AS berkeyakinan bahwa program penyelamatan ekonomi Bush hanya satu langkah untuk mengontrol resesi keuangan dan dampaknya dalam waktu dekat dinilai tidak dapat diprediksikan. Saat ini saja, imbas resesi keuangan AS terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari warga AS. Turunnya pertumbuhan ekonomi AS dan lonjakan angka pengangguran merupakan dampak terdekat dari krisis keuangan AS. Selama bulan September saja, 150 ribu warga AS kehilangan pekerjaannya dan angka ini menunjukan data statistik terburuk sepanjang lima tahun terakhir.

Dampak resesi ekonomi AS di kancah global, lebih mengacu pada mitra-mitra AS di Eropa. Mengingat kedekatan hubungan dan transaksi antara pasar keuangan dan investasi Eropa dan AS, kini Uni Eropa menjadi pihak yang paling terancam akibat resesi keuangan di AS. Di Eropa pun bank-bank raksasa dan lembaga keuangan yang terjun di sektor properti berada diambang kebangkrutan. Presiden Perancis dan pemimpin periodik Uni Eropa Nicolas Sarkozy, dengan mengajukan program penyelamatan ekonomi seperti milik Bush, berupaya mengambil inisiatif untuk menangani resesi keuangan di Eropa. Ide Sarkozy diawali dengan mengalokasikan dana dengan nilai investasi 300 milyar Euro dan mengadakan rapat darurat dengan para pejabat tinggi Jerman, Inggris, dan Italia. Namun sebelum pertemuan segi empat Paris, Jerman, Inggris dan Italia menentang usulan Perancis dan karena dinilai telah keluar dari kesepakatan dalam pertemuan Paris. Para pemimpin empat negara adidaya ekonomi Eropa dalam pertemuan Paris hanya bersepakat bahwa dengan fleksibilitas lebih besar dalam ketentuan Uni Eropa, negara-negara anggota bisa mengambil keputusan di tingkat nasional terkait resesi keuangan. Eropa hingga kini menyuntikan milyaran euro kepada bank-bank dan lembaga keuangan yang berada diambang kebangkrutan. Pada tahap lain, negara-negara Eropa juga menjamin seluruh tabungan dan deposito pribadi, untuk mengatasi kekhawatiran dan mencegah perluasan aksi rush warga Eropa.

Sejatinya resesi keuangan terbaru dengan jelas menunjukan rapuhnya model perekonomian liberal. Berlanjutnya kondisi ini dapat menyeret negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis ke dalam jurang krisis yang lebih dalam dan akut. Tampaknya, pasca resesi keuangan ini reda, negara-negara Barat akan mulai meninggalkan sistem perekonomian Liberal dengan mengeluarkan kebijakan intervensi dan kontrol lebih besar di pasar-pasar keuangan dan investasi. Kebijakan tersebut ditempuh untuk menekan laju krisis yang tidak terkontrol dengan dampaknya yang menggurita. Namun poros terjadinya krisis ini berawal dari proses runtuhnya perekonomian kapitalis Barat. Bagaimanapun bagi berbagai negara dunia terutama negara-negara dunia ketiga, mengekor sistem liberalisme ekonomi politik Barat hanya akan menghancurkan diri sendiri.

Tidak ada komentar: